Minggu, 25 Agustus 2013

makalah pendidikan



DIBALIK DARI FENOMENA UJIAN AKHIR NASIONAL

UN / ujian nasional merupakan ujian akhir untuk penentuan dari kelulusan pada tingkat pendidikan. Tak jarang UN ini adalah sosok yang menyeramkan bagi para pelajar kita. Mereka menganggap kalau UN itu adalah "hantu" yang siap mencekik mereka dengan bayang-bayang "tidak lulus".
Ujian akhir nasional, tiga kata inilah yang saat ini menjadi momok yang sangat menakutkan bagi pelajar-pelajar yang duduk di sekolah menengah pertama atau menengah atas. Saat mulai menduduki kelas akhir mereka langsung mendapatkan hantu yang berupa standar nilai kelulusan yang harus mereka capai.
Tentu hal ini memiliki dampak positif dan negative bagi siswa tersebut, selain itu banyak sekali fenomena yang terjadi pasca pemerintah menetapkan kebijakan ini pada tahun ajaran 2003 yang pertama kali diberlakukan.
Sekolah adalah sebuah batu loncatan dalam memperoleh masa depan yang tentunya banyak dimiliki oleh setiap orang, dalam keadaan yang semakin menekan masyarakat kecil ditambah dengan segala biaya yang selalu berganti harga menambah daftar penderitaan. Kini ancaman versi lain pun tengah bergejolak dengan standar nilai kelulusan tentu menjadi sebuah hal yang akan menentukan masa depan seorang warga Negara Indonesia.
Seiring perjalanan selama empat tahun ini berbagai polemik pun salah silih berganti menyangkut hantu yang bernama standar nilai kelulusan ini, dimulai dengan banyaknya peristiwa siswa yang melakukan bunuh diri karena tidak lulus, serta depresi yang banyak melanda serta banyak hal lainnya.
Dengan singkat kata “standar nilai kelulusan” ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Yang menjadi pertanyaan besar apakah “ standar nilai kelulusan” ini menjadi sebuah factor objektivitas dalam menentukan kualitas pendidikan Indonesia? Tentu jika jawabannya tidak maka hal ini sangat amat menjadi ironi dalam dunia pendidikan Indonesia yang terbilang semrawut.
Ada hal lucu yang menunjukkan bagaimana kontrasnya system pendidikan saat ini dengan metode multiple choice yang saat ini masih diterapkan di dunia pendidikan Indonesia saat ini. Banyak siswa yang terbilang memiliki prestasi serta cukup memiliki potensi di kelas 1 dan kelas 2 tetapi hancur oleh hanya Ujian Akhir Nasional yang hanya berlangsung selama 3 hari. Lalu dimana tingkat objektivitas dalam sistem pendidikan saat ini? Apakah system pendidikan saat ini lebih mirip ke judi yang selalu mengandalkan peruntungan? Tentu pertanyaan ini ditujukan bagi kita generasi penerus bangsa yang semrawut ini yang telah banyak mengorbankan rakyatnya.
Pola pikir ini sudah ada sejak lama, maka tidak heran dari dulu hingga sekarang banyak yang takut dengan namanya UN. Pemerintah berharap dengan adanya UN akan meningkatkan mutu dan standar pendidikan di Indonesia. Tapi, sekarang kita berkaca dari kenyataan sekarang. Apakah mutu dan standar pendidikan sudah layak dan semua orang mendapatkan kelayakan pendidikan..?
Seperti nya belum tuh.. masih banyak banget orang yang belum bisa menikmati bangku sekolah. UN juga sempat mendapatkan isu untuk dihapus dari sistem pendidikan di Indonesia. Tapi, niat itu diurungkan dan UN pun tetap dilaksanakan.
Saya tidak heran, jikalau UN masih terdapat kecurangan dalam beberapa hal. Baik itu dari pihak sekolah, pengawas dan juga para siswa-siswi. Berbagai cara pun ditempuh untuk "memuluskan" ujian nasional tersebut. Mulai dari panitia pengawasan UN hingga anak murid yang diawas pun bertingkah.
Hal yang pernah saya lihat selama UN berlangsung diantaranya, pengawasan oleh guru pengawas UN yang tidak begitu ketat dan ada juga beberapa pengawas membiarkan anak murid selama ujian melakukan kegiatan mencontek masal. Tak heran memang, didepan publik berkata "Kami tidak melakukan kecurangan" tetapi dibalik kalimat itu tersirat makna tersembunyi "Kami ingin dapat kunci jawaban".
Sekarang, para siswa-siswi atau mungkin juga guru sedang mencari cari keberadaan sang kunci jawaban dan soal soal bocoran UN. Mereka mulai membuka "link" baru untuk mendapatkan kunci tersebut. Tak jarang mereka menggunakan "joki" dalam melakukan permainan. Penelusuran pun dilakukan mulai dari antar teman, antar kolega hingga internet.
Tidak semua instansi pendidikan melakukan kegiatan itu. Mereka masih memegang teguh namanya kejujuran selama UN. Tidak ada bantuan sama sekali, baik berupa kunci atau barang jawaban lain. Pengawasan pun dilakukan secara ketat dan dipantau dengan kamera CCTV. Jadi kalau mau menyontek, pikir ulang dulu sebelum akhirnya ditangkap. Kan malu ditangkap sama polisi dan nama sekolah pun akan tercoreng dimasyarakat.
Memang aneh ya, pemerintah ingin sukses tapi rakyat belum mampu mendapatkan pendidikan, sehingga para siswa dan siswi  harus melakukan kegiatan ini untuk menyukseskan UN dari pemerintah sehingga taraf dan mutu pendidikan akan menjadi terbaik..? Kita terus berharap akan sebuah kepastian yang tidak berat sebelah bagi masyarakat dan semoga mutu pendidikan kita menjadi lebih baik lagi tanpa adanya tindakan kecurangan.
Ujian Nasional yang dulu pernah bernama Ujian Akhir Nasional ataupun Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional selalu menyisakan kisah-kisah paradoks, miris, sedih dan anomali yang tak terperi bagi wajah pendidikan nasional di negeri ini.
Mulai kebocoran soal dan kunci jawaban secara sistematis, baik dilakukan oleh oknum ekternal misalkan dari percetakan hingga distributor dan satuan pengaman pendistribusian soal, hingga ke oknum di sekolah. Selain pula ada banyak kasus dimana pengawas ujian yang juga merupakan pengajar sengaja memberikan keleluasaan peserta ujian untuk melakukan kecurangan. Semua dilakukan untuk mengejar angka akreditasi atau nilai standar yang dicanangkan sebagai standar evaluasi proses pendidikan. Bahkan kalau beberapa waktu yang lalu, menjadi penentu kelulusan siswa dari jenjang pendidikannya.
Bayangkan saja, 3 tahun berjibaku belajar, namun nasib kemudian ditentukan oleh beberapa soal saja, dalam durasi 3-4 hari saja dengan mengacu pada angka-angka dan nilai di atas kertas.
Kemana kabar soal pendidikan karakter? dimana pendidikan moral dan agama? Kalau kemudian atas nama “evaluasi belajar tahap akhir” peserta didik melakukan hal-hal dan tindakan yang telah melanggar norma dan aturan serta nilai-nilai yang menjadi tujuan besar dari pendidikan itu sendiri?
Belajar dari banyak kasus seperti ini, pemerintah dan para penggiat pendidikan mesti berpikir ulang untuk merumuskan metode evaluasi dan penilaian keberhasilan tahap belajar peserta didik. Sungguh ironi, jika proses evaluasi untuk mengukur tingkat keberhasilan belajar justru menghancurkan tujuan dan cita-cita pendidikan itu sendiri.










1.        UJIAN NASIONAL
Ujian akhir nasional, tiga kata inilah yang saat ini menjadi momok yang sangat menakutkan bagi pelajar-pelajar yang duduk di sekolah menengah pertama atau menengah atas. Saat mulai menduduki kelas akhir mereka langsung mendapatkan hantu yang berupa standar nilai kelulusan yang harus mereka capai.
Tentu hal ini memiliki dampak positif dan negative bagi siswa tersebut, selain itu banyak sekali fenomena yang terjadi pasca pemerintah menetapkan kebijakan ini pada tahun ajaran 2003 yang pertama kali diberlakukan.
Sekolah adalah sebuah batu loncatan dalam memperoleh masa depan yang tentunya banyak dimiliki oleh setiap orang, dalam keadaan yang semakin menekan masyarakat kecil ditambah dengan segala biaya yang selalu berganti harga menambah daftar penderitaan. Kini ancaman versi lain pun tengah bergejolak dengan standar nilai kelulusan tentu menjadi sebuah hal yang akan menentukan masa depan seorang warga Negara Indonesia.
Seiring perjalanan selama empat tahun ini berbagai polemik pun
salah silih berganti menyangkut hantu yang bernama standar nilai kelulusan ini, dimulai dengan banyaknya peristiwa siswa yang melakukan bunuh diri karena tidak lulus, serta depresi yang banyak melanda serta banyak hal lainnya.
Masa-masa ujian bagi siswa kelas terakhir di semua jenjang sudah di ambang pintu. Tidak hanya siswa yang akan menghadapi ujian, semua pihak yang berkaitan dengan dunia pendidikan ikut sibuk mempersiapkan ujian akhir. Kesibukan dalam menyambut ujian akhir nasional sehubungan dengan sistem pelaksanaan ujian yang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Konon sistem ujian akhir nasional kali ini membuat semua pihak merasa was-was. Paket  soal ujian tidak lagi 4 atau 5 melainkan sampai 20 paket. Hal ini berarti, jika siswa dalam satu ruang berjumlah 20 siswa maka soal setiap siswa akan berbeda. Di sisi lain, tidak ada lagi siswa yang akan menyontek. Wabah menyontek dalam ujian seperti keluhan pada tahun-tahun sebelumnya tidak akan ada lagi.
Jika peserta ujian tidak mempersiapkan diri dengan baik dan maksimal, dikhawatirkan akan gagal dalam ujian akhir nasional.  Ini resiko yang paling ditakuti oleh siswa, orang tua siswa, bahkan guru-guru di sekolah.
Sistem ujian akhir nasional  dengan memperbanyak paket soal jelas bertujuan untuk memperbaiki kualitas hasil pendidikan. Di samping membuat hasil ujian benar-benar murni, pihak yang mengelola pendidikan betul-betul mendapatkan data yang akurat tentang kualitas pendidikan.
Menghadapi ujian akhir nasional kali ini benar-benar membuat pihak sekolah, khususnya guru, berjibaku mempersiapkan siswa. Berbagai soal-soal latihan telah disuapkan ke batok kepala siswa, mulai dari pagi sampai sore. Bahkan, ujian-ujian dengan berbagai label sudah diberikan kepada siswa. Apakah itu ujian tryout, simulasi dan segala macamnya. Katanya, semakin banyak menjalani latihan semakin bagus hasil yang akan diperoleh siswa. Benarkah?
Wah, kalau latihan fisik diperbanyak mungkin saja dapat meningkatkan hasil yang akan diperoleh. Latihan otak? Otak siswa memiliki kapasitas terbatas untuk menerima sesuatu. Paling tidak siswa akan mengalami kebosanan. Pendidikan itu kok berisi latihan dan ujian melulu, dan bukan proses untuk memperoleh hasil sebagaimana lazimnya?
Sistem ujian beberapa paket soal dalam ujian akhir nasional mungkin upaya yang bagus untuk mencapai hasil belajar yang sesungguhnya. Namun proses untuk menghadapi ujian akhir tersebut perlu diperhatikan kembali oleh semua pihak. Siswa bukan robot, melainkan manusia yang sedang tumbuh dan berkembang sesuai usia mereka.  Pendidikan itu untuk memanusiakan manusia sesuai hakikat pendidikan yang sesungguhnya.
System pendidikan yang telah dibuat pemerintah sekarang pasti tujuannya adalah untuk memperbaiki kualitas dan mutu pelajar Indonesia. Tujuan ini adalah tujuan yang sangat mulia, tapi menurut saya apa yang dilihat dan dinilai dari suatu system itu adalah hasilnya. Lalu bagaimana kwalitas dan mutu pendidikan sekarang dibanding tahun-tahun sebelumnya ? Apakah semakin membaik ?
Pada kenyataannya kwalitas pendidikan Indonesia malah semakin menurun. Bagaimana tidak, siswa yang mengikuti ujian akhir nasional sekarang yang disingkat UAN justru sangat terbebani dengan standar kelulusan yang ada. Ibaratnya mereka mereka berlari dikejar sesuatu bukan berlari mengejar sesuatu. Permasalahannya adalah mana mungkin sekolah yang memiliki fasilatas unggulan disamakan dengan sekolah pedesaan yang kualitasnya sangat memprihatinkan. Untuk gambarannya silahkan perhatikan perbedaan kedua gambar dibwaha ini :
Ruang Kelas Unggulan Ruang


Kelas memprihatinkan

Seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah memperbaiki fasilitas pendidikan terlebih dahulu kemudian memberlakukan standar kelulusan yang maksimal. Karena pada faktanya walaupun sulit dibuktikan saya sering mendengar informasi dari adik-adik pelajar bahwa mereka yang lulus itu karena mendapatkan bantuan dari gurunya. Mungkin hal ini terpaksa dilakukan oleh guru karena apabila siswa mereka tidak lulus maka merupakan kegagalan pula bagi pengajar. Jadi kalau kenyataannya seperti ini apakah ini akan memperbaiki mutu pendidikan ?
Dengan singkat kata “standar nilai kelulusan” ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Yang menjadi pertanyaan besar apakah “ standar nilai kelulusan” ini menjadi sebuah factor objektivitas dalam menentukan kualitas pendidikan Indonesia? Tentu jika jawabannya tidak maka hal ini sangat amat menjadi ironi dalam dunia pendidikan Indonesia yang terbilang semrawut.
Ada hal lucu yang menunjukkan bagaimana kontrasnya system pendidikan saat ini dengan metode multiple choice yang saat ini masih diterapkan di dunia pendidikan Indonesia saat ini. Banyak siswa yang terbilang memiliki prestasi serta cukup memiliki potensi di kelas 1 dan kelas 2 tetapi hancur oleh hanya Ujian Akhir Nasional yang hanya berlangsung selama 3 hari. Lalu dimana tingkat objektivitas dalam sistem pendidikan saat ini? Apakah system pendidikan saat ini lebih mirip ke judi yang selalu mengandalkan peruntungan? Tentu pertanyaan ini ditujukan bagi kita generasi penerus bangsa yang semrawut ini yang telah banyak mengorbankan rakyatnya.

2.        KEGAGALAN UJIAN AKHIR NASIONAL

Dibaca dari detikcom. Jumlah angka siswa yang tidak lulus UAN mencapai angka 100 ribu di seluruh Indonesia. Di Jakarta, terdapat 14 sekolah yang persentase kelulusannya hanya 0%. Nol persen!! Dan yang lebih parah lagi, ada 1 orang siswa di Sulawesi yang bunuh diri karena dirinya tidak lulus UAN. Di Jakarta sendiri, terdapat 4 orang siswa yang juga melakukan percobaan bunuh diri. Fenomena ini kemudian bertambah panas sewaktu para orangtua siswa yang tidak lulus UAN itu beramai-ramai mengunjungi Komnas HAM. Mereka menyatakan bahwa UAN telah melanggar HAM, dengan argumen bahwa sistem ini masih bersifat trial and error dan memunculkan ketidakadilan.
Dari pengalaman turun ke berbagai sekolah, ternyata para guru juga mengeluhkan hal yang sama. Mereka mengeluhkan adanya kurikulum yang selalu berganti di Indonesia, yang akhirnya harus membuat mereka kewalahan untuk menyesuaikan dengan rencana pengajaran yang terus berubah setiap tahunnya.
Kembali ke fenomena kegagalan UAN. Sepertinya ada beberapa hal yang harus dicermati oleh pemerintah. Pertama, bahwa ukuran kesuksesan siswa SMA tidak bisa hanya ditentukan oleh ketiga mata pelajaran saja. Selalu ada nilai lebih yang harus ditonjolkan dari setiap siswa selama 3 tahun masa studinya di bangku SMA. Banyak kasus dimana siswa telah diterima di sebuah universitas melalui jalur PMDK terpaksa harus mundur karena tidak lulus UAN. Kedua, peraturan yang diterbitkan seringkali tidak mengacu pada kondisi sebenarnya yang berada di lapangan. Ada kecenderungan dimana guru dan siswa Indonesia juga cukup lamban dalam menyikapi adanya peraturan pemerintah yang selalu berubah-ubah setiap tahunnya. Akselerasi penyesuaian yang dilakukan oleh sekolah-sekolah di pedesaan tentu tidak akan secepat yang dilakukan oleh sekolah di perkotaan, apalagi sekolah-sekolah unggulan.
Balik ke masalah bunuh diri tadi. Apabila dilihat dari faktor pendidikan si anak, tentu kita bertanya mengapa sampai ada angka 4 orang siswa yang melakukan percobaan bunuh diri, dan 1 orang yang telah meninggal akibat upaya tersebut. Dalam hal tersebut memperhatikan 3 faktor dalam membuat sebuah buku pelajaran, yaitu faktor kognitif, psikomotorik, dan afektif. Dalam fenomena bunuh diri ini, sepertinya faktor afektif yang telah dicantumkan dalam berbagai bentuk soal tidak diterapkan oleh siswa (atau guru?) di kelas dengan baik. Saya sempat berpikir dan sedikit bersedih, sebenarnya dimanakah letak kesalahannya? Bunuh diri merupakan sebuah hal yang tidak pernah saya pikirkan selama ini. Bahwa bunuh diri itu merupakan potret gagalnya pendidikan di Indonesia.
Sejak Lama, Ujian Nasional Sudah Gagal sekitar 48 tahun lamanya, warga negara Indonesia mengenal ujian kelulusan. Namanya bermacam-macam, tetapi mengusung tujuan yang sama, yaitu lulus dari jenjang satu untuk melanjutkan ke jenjang lainnya. Ironisnya, tak satu pun dinilai berhasil memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia.
Penasihat Ikatan Guru Indonesia (IGI), Itje Chodijah, mengatakan bahwa sekian lama ujian penentu kelulusan ini hanya memenuhi agenda pemerintah untuk melanjutkan proyek dengan aliran dana yang besar.
"Kalau dibilang keberhasilan UN itu keberhasilan seperti apa? Lulus semua itu dibilang berhasil? Itu hanya keberhasilan semu. Sejak lama, UN ini sudah gagal," kata Itje saat dijumpai seusai jumpa pers pelaksanaan UN di Kantor ICW, Jakarta, Selasa (16/4/2013).
Seperti diketahui, Ujian Nasional (UN) yang dikenal sekarang berawal dengan nama Ujian Negara pada tahun 1965-1971, lalu sempat diambil alih oleh sekolah dan disebut Ujian Sekolah pada tahun 1972-1979. Mulai tahun 1980-2000, Ujian Sekolah diganti oleh Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) dengan dalih mengendalikan mutu pendidikan nasional dan kembali dijalankan oleh pusat.
Memasuki periode 2001-2004, Ebtanas berubah nama menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN). Kemudian, mulai 2005 hingga saat ini, nama UN yang digunakan dengan perbedaan aturan seperti adanya nilai batas kelulusan untuk tiap mata pelajaran dan rata-rata nilai serta menggabungkan dengan akumulasi nilai rapor dan ujian sekolah.
"Tapi, pada dasarnya, mau seperti apa pun, UN ini nggak penting. Kalau dibilang nasional, standar pendidikan seperti apa yang dipakai? Standar sekolah kota pastinya," ujar Itje.
Hal ini tentu tidak adil bagi daerah-daerah di luar ibu kota atau di luar Pulau Jawa yang memiliki standar pendidikan jauh berbeda. Saat dibilang merata dan diberikan kisi-kisi yang sama, pada kenyataannya, hal tersebut sulit berjalan karena UN ini tidak hanya terbatas pada standar materi ujian.
"Sekarang soalnya sama semua. Tapi, pengajarnya yang mengajarkan materi itu kemampuannya tidak sama, lalu anaknya yang diuji. Coba bayangkan saja logikanya seperti apa," ungkap Itje.
Untuk itu, ia memberi saran agar tiap unsur pendidikan baik guru, kepala sekolah, maupun pengawas distandardisasi terlebih dahulu. Apabila standar minimumnya tercapai dan ada patokan yang pasti, anak-anak berhak diuji sesuai dengan standar yang ada.
"Jadi, UN boleh saja selama semuanya sudah standar. Ya guru, kepala sekolah, pengawas, dan sekolahnya sendiri," ujarnya.
Pada kenyataannya, pemerintah sendiri mengklasifikasikan sekolah dengan sekolah unggulan, sekolah standar nasional, sekolah reguler, sekolah satu atap, dan lain-lain. "Tapi, saat ujiannya disamakan, masuk akal atau tidak seperti itu," ungkapnya.
"Jadi, di luar penundaan UN dan teknis lainnya, ujian seperti ini sudah tidak penting. Siswa belajar hanya untuk ujian, bukan untuk menguasai suatu hal," tandasnya.
Mengapa penyimpangan ujian nasional selalu terjadi dari tahun ke tahun? Salah satu alasan utama  adalah sikap masyarakat yang permisif terhadap penyimpangan menyebabkan penyimpangan di berbagai bidang sulit diberantas, termasuk dalam dunia pendidikan. Apapun sistemnya jika masyarakat  kita tidak mau diajak menjadi manusia (masyarakat) yang berkwalitas maka tetap saja terjadi penyimpangan. Pada hal untuk menjadi bangsa yang maju, salah satu syarat yang diutamakan adalah manusia (masyarakat) yang berkwalitas baik jasmani maupun rohani. 
Menerapkan sistem penilaian pendidikan yang baik yang dapat meminimalisir penyimpangan ujian nasional mutlak perlu dilakukan agar ujian nasional pada segala tingkatan (jenjang) pendidikan kian tahun kian berbobot. Mulai dari pendistribusian soal sampai pada pengerjaan naskah soal oleh siswa di masing-masing sekolah perlu diperketat, tanpa mengganggu konsentrasi siswa. Pengawasan ruang dan pengawasan dari tim independen harus diselenggarakan oleh insan pengawas yang kredibel dan memiliki integritas. Mereka harus memiliki komitmen terhadap mutu pendidikan yang tinggi. Sanksi yang berat harus dikenakan terhadap mereka yang melanggar prosedur operasi sistem, misalnya pencabutan sertifikat dan tunjangan profesi bila mereka memiliki sertifikat pendidik. Tak terkecuali, sanksi diterapkan juga kepada penyelenggara pendidikan tingkat sekolah baik negeri maupun swasta. Misalnya, mereka tidak boleh menyelenggarakan ujian nasional secara mandiri.
Bukan bermaksud memojokkan pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan berbagai pihak yang mengawal ujian nasional, namun berusaha memberikan masukan yang obyektif mengenai kecurangan ujian nasional yang sistematis dan profesional. Tidak ada kebocoran soal dan kunci jawaban ujian nasional  (resmi) kepada siswa. Ada oknum yang tidak bertanggung jawab membuat kunci jawaban ujian nasional sendiri menurut versi mereka dan disebarkan kepada siswa. Pada tingkatan pendistribusian naskah soal di daerah yang masih longgar pengawasannya, rentan terjadi penyimpangan dalam berbagai bentuk dan cara yang sangat rapi dan profesional. 
Marilah kita perangi bersama bentuk-bentuk penyimpangan ujian nasional agar sistem pendidikan kita sungguh-sungguh melahirkan manusia yang cerdas, terampil, berbudi pekerti luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai amanat Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional dan akhirnya menjadi bangsa yang maju yang disegani banyak negara.
Sudah banyak media mengekfos berbagi macam kasuk kecurangan dalam Ujian Nasional di Indonesia, contoh :
-        JAKARTA–MICOM: Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saefudin meminta penyelenggara pendidikan untuk menjadi teladan kejujuran.
Lukman mengatakan demikian setelah mengetahui bahwa Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh sangat defensif terkait kasus ibu Siami, Ibunda AL, siswa yang yang melaporkan insiden sontek massal saat ujian nasional di SDN 2 Gadel, Surabaya, April lalu.
Menteri pendidikan begitu defensif, padahal Al mengaku kalau sontekan yang ia beri kepada temannya disalah-salahkan, karena Al tidak rela ujiannya disontek massal, dan Menteri menyatakan hasil ujian masing-masing anak berbeda,” ucap di diskusi polemik dengan tema Tragedi Siami Negeri Kleptokrasi di Warung Daun, Jakarta, Sabtu (18/6).
Menurut Lukman, saat ini dalam dunia pendidikan terdapat pergeseran nilai. Pergeseran nilai yang dimaksud adalah sikap permisif dari pimpinan pendidikan dan penyelenggara untuk menolerir kesalahan. Karena itu, harus ada revolusi total dalam dunia pendidikan.
“Ini pergeseran nilai yang luar biasa. Harus terjadi revolusi di sektor pendidikan, agar dilakukan radikalisasi oretasi pendidikan, karena ini sangat serius,” tegasnya.
Lukman pun meminta agar penyelenggara pendidikan intropeksi diri. Dalam kasus Siami, sontek massal di Surabaya, tidak sepenuhnya guru dipersalahkan, karena guru mendapat tekanan bagaimana caranya murid mendapat nilai yang bagus untuk bisa lulus ujian nasional.
“Tidak bisa salahkan guru yang memberi perintah untuk bocoran, karena guru tertekan memiliki tanggung jawab hasil terbaik kelolosan murid terhadap UN,” ucapnya. (*/OL-9).
-        Ujian Nasional Justru Lahirkan Kebohongan
Penulis : Torie Natallova
Kamis, 16 Juni 2011 19:32 WIB
JAKARTA–MICOM: Dewan Perwakilan Daerah meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghentikan program ujian nasional (UN) di Indonesia. Menurut Wakil Ketua DPD Laode Ida, UN terlalu dipaksakan sehingga semua sistem dan penyelenggara tersangkut kebohongan.
“SBY saya minta untuk mengomandoi penghentian UN. Kalau tidak, maka bisa menjadikan bangsa ini pelahir kebohongan,” kata Laode saat ditemui di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (16/6).
Selain itu, Laode Ida mengatakan UN sebenarnya bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003. Ujian nasional bukanlah penentu kelulusan siswa menurut UU tersebut. DPD sebenarnya sudah dengan tegas menolak UN, namun kenyataannya UN tetap dipaksa berjalan. Akibatnya, timbul kasus-kasus seperti Alifah, anak ibu Siami.
“Pemaksaan ini menjadikan semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan UN, proyek itu hanya menghabiskan uang dan sarat kebohongan. Kasus Alifa, menjadi bukti nyata bahwa pendidikan sangat menjungkirbalikkan nilai-nilai fundamental, kejujuran dihancurkan hanya karena gengsi,” tuturnya. (OL-8) .


-        Kasus Sontekan Massal Momentum Kaji UN
JAKARTA–MICOM: Anggota Komisi X DPR yang membidangi pendidikan, olah raga, dan kebudayaan Rohmani menyatakan, kasus Ny Siami, yang berani membongkar ketidakjujuran pada pelaksanaan ujian nasional, hendaknya dijadikan momentum mengkaji ulang UN.
“Kejadian yang menimpa ibu Siami adalah tamparan bagi pemangku kebijakan pendidikan nasional yang didasarkan atas coba-coba,” katanya dalam penjelasan melalui surat elektronik di Jakarta, Selasa (14/6).
Siami, orang tua Al, siswa kelas VI SD Negeri Gadel II, Kecamatan Tandes, Surabaya, Jawa Timur bersama keluarganya kini mengungsi ke rumah saudaranya setelah mengungkapkan kasus mencontek massal yang terjadi di sekolah tersebut saat ujian akhir sekolah bertaraf nasional (UASBN) 2011. Ia mengungsi setelah sejumlah warga dan wali murid sekolah itu menganggap dia mencoreng nama baik sekolah.
Menurut Rohmani, selama ini pemerintah belum serius memperbaiki wajah pendidikan nasional. Hal ini tampak dari berbagai kebijakan pendidikan yang dibuat pemerintah jauh dari realitas kebutuhan pendidikan nasional.
Dikemukakannya, dua contoh yang paling nyata adalah UN dan sekolah bertaraf internasional (rintisan). Kedua program ini dinilainya gagal menjawab pendidikan nasional.
“Kedua program ini justru menimbulkan masalah sosial baru di tengah masyarakat. Sekolah bertaraf internasional menimbulkan kelas sosial baru dalam pendidikan nasional. Sementara UN menjauhkan pendidikan nasional dari proses. Bukankah pendidikan itu proses bukan semata-mata beorientasi hasil,” katanya.
Ia mengatakan, UN telah mengakibatkan persoalan serius dalam penataan pendidikan nasional.
“Bukannya memperbaiki wajah pendidikan nasional, UN justru kian memperburuk. Sejak adanya UN orientasi pendidikan hanya untuk lulus. Segala cara ditempuh untuk mampu menjawab soal ujian,” katanya.
Akibatnya, kata dia, bangku sekolah hanya untuk menjawab soal-soal ujian, sementara penanaman nilai-nilai kebangsaan dan karakter semakin minim.
“Saya kira kita sudah melihat jelas, saya yakin pemerintah juga tahu. Anak didik kita saat ini diformat untuk mampu lulus UN. Bukan lagi penanaman nilai agar kelak mereka bisa menlanjutkan keberlangsungan bangsa ini,” katanya.
Pada akhirnya, kata dia, mereka hanya menjadi objek pembuat kebijakan pendidikan. Di samping itu, sudah sering dilihat di media dan beberapa informasi yang diterimanya bahwa praktik ketidakjujuran itu terjadi ketika UN berlangsung.
“Jika demikian adanya, maka UN telah membuat bangsa ini semakin tidak jujur,” kata anggota DPR dari Fraksi PKS itu.
Menurut dia, kasus yang menimpa Ny Siami adalah bentuk nyata betapa UN telah menciptakan ketegangan sosial di tengah masyarakat. Suasana ini telah menciptakan keresahan di tengah masyarakat.
Ironisnya lagi, kata dia, UN ini telah mengakibatkan konflik di tengah masyarakat seperti yang dialami ibu Siami.
“Persoalan yang menimpa ibu Siami tidak bisa dipandang sebelah mata. Kemdiknas harus menjadikan ini sebagai bahan pertimbangan untuk mempertimbangkan keberadaan UN. Jangan sampai UN ini jadi teror baru di tengah dunia pendidikan nasional,” katanya.
Idealnya pendidikan menciptakan keselarasan sosial, dan bukan sebaliknya menciptakan keresahan sosial, dan saat ini UN sudah menciptakan keresahan sosial, kata Rohmani.
Oleh karena itu, ia berpendapat bila UN harus dikaji ulang, terlebih setelah kasus yang menimpa ibu Siami ini terjadi.
Sejak awal, pihaknya sudah melakukan sikap kritis terhadap kebijakan UN sebagai penentu kebijakan kelulusan. “Ini momentum bagi kami untuk memperjuangkan kembali bila UN bukan penentu kelulusan,” katanya. (Ant/wt/X-12)

4.      Ujian Akhir Nasional Tidak Cocok untuk Indonesia

Ujian Akhir Nasional (UAN) setiap tahun menjadi momok yang menakutkan bagi semua orang, bukan hanya siswa namun orang tua murid, saudara, keluarga. Meski sebenarnya UAN bukanlah sesuatu yang seharusnya ditakuti namun yang patut menjadi perhatian ialah kekacauan penyelenggaraan UAN setiap tahunnya. Bukankah bukan pertama kalinya Indonesia melaksanakan UAN, tapi tetap saja terjadi kekacauan setiap tahunnya. Entah itu masalah teknis ataupun terkait pro dan kontra adanya UAN. Apa yang salah sebenarnya? Disini bukan salah siapa atau siapa yang patut dijadikan kambing hitam. Bukan pula menyalahkan Menteri Pendidikan. Kekacauan teknis seperti pendistribuan soal, kertas tipis, pelaksanaan UAN yang tak serentak nasional, tidak bisa kesalahan tersebut dilimpahkan pada Menteri Pendidikan kita, Muh. Nuh. Bukan salah beliau.
Ketika Pemerintah tetap teguh dengan pendiriannya perlunya UAN, sebetulnya ada banyak hal yang patutnya dikaji apakah UAN masih cocok diterapkaan di Indonesia. Ada banyak alasan UAN tidak lagi cocok dilaksanakan di Indonesia.

a.         Alasan letak geografis Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.000 pulau tersebar  diseluruh nusantara  menjadi kendala tersendiri, terutama terkait pendidtribusian soal yang ramai dibicarakan pada kekacauan UAN tahun ini. Indonesia yang begitu luas, dimana setiap pulau terpisah oleh lautan mempersulit distribusi soal UAN, perlu perencanaan detail, tidak bisa sembarangan dan asal-asalan.

b.        Pelajar itu subjek pendidikan bukan objek pendidikan
Keberadaan UAN justru menjadi alat coba-coba untuk pelajar. Setiap tahun aturan UAN terus berubah, mulai dari standar nilai, perubahan kurikulum, dan paket soal. Sistem yang tidak jelas seolah menjadi ajang coba-coba pemerintah untuk menerapkan suatu kebijakan. Padahal anak bukan ajang percobaan, mereka adalah anak yang seharusnya mendapatkan pelayanan pendidikan yang selayaknya. Mereka adalah subjek, pelaku pendidikan yang memiliki hak dasar mendapat pendidikan, bukan objek penelitian dan carut-marut kebijakan.

c.         Kualitas pendidikan yang tidak merata
Kualitas pendidikan Indonesia yang tidak merata  menyebabkan ketimpangan hasil UAN antara daerah kota dengan pendidikan maju dibanding daerah pinggiran dengan failitas pendidikan terbatas. Jika pada kenyataannya kulitas pendidikan di Indonesia belum merata, saya rasa UAN tidak layak dijadikan standarisasi penilaian nasional. Apalagi dijadikan syarat kelulusan, meski sekarang ini prosentasenya 60% dan 40% dari sekolah.  Tapi tetap saja UAN masih menjadi standar. Standar nilai kelulusan UAN 5,5 sangat lah ringan untuk sekolah-sekolah maju dikota, tapi tidak untuk sekolah pinggriran. Membaca saja masih menjadi persoalan di pelosok-pelosok negeri ini.

d.        Soal UAN tidak adil
Pembuatan soal UAN yang distandarkan untuk nasional menimbulkan ketidakadilan. Ketika pihak pembuat soal mempertimbangkan bahwa soal diperuntukkan bagi seluruh siswa di Indonesia, baik di daerah maupun kota, tentu pihak pembuat soal harus memperhitungkan apakah soal-soal tersebut memenuhi standar kelulusan untuk semua sekolah. Padahal kualitas sekolah sekali lagi berbeda. Bagi sekolah maju mungkin soal-soal UAN tidak sulit dibandingkan standar pendidikan disekolah mereka bahkan terlalu mudah. Tapi bagaimana dengan sekolah pinggiran, apakah soal-soal tersebut sesuai dengan starandar  mereka? Terlalu sulit bisa jadi.
e.         Setiap daerah memiliki kebutuhan dan standar pendidikan tersendiri
Negara kita hampir mirip dengan Amerika yang multikultural, bedanya setiap pulau di Indonesia terpisah oleh lautan sedangkan Amerika hanya dibatasi daratan. Namun apa yang sama bahwa Amerika juga memiliki masyarakat yang beragam, bangsa imigran. Setiap daerah memiliki kebudayaan, kebutuhan, dan standar pendidikan tersendiri. Amerika dikenal dengan sistem pendidikannya yang maju dan dipandang di dunia. Dalam sistem pendidikan di negri Paman Sam tidak ada Ujian Nasional karena setiap negara bagian memiliki kebutuhan berbeda  akan pendidikan. Mereka  menyelenggarakan Ujian per negara bagian, soal yang dibuat dari negara bagian, bahkan jika memang tidak berkenan dengan soal-soal dari negara bagian mereka berhak menolak dan menyelenggarakan ujian mandiri. Tidak ada penyetandaran secara nasional. Lalu bagaimana mengukur kemmapuan siswa untuk masuk ke  jenjang yang lebih tinggi? Kualitas individu menjadi faktor penentu, tidak menjadi soal ia berasal dari pinggiran maupun kota asalkan ia bisa bersaing untuk meneruskan pendidikan dan mengenyam pendidikan yang lebih baik.

f.       UAN bukan penjamin kualitas pendidikan baik secara individu maupun nasional
Berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, sistem pendidikan Indonesia berada di posisi terbawah bersama Meksiko dan Brasil. Peringkat disusun berdasarkan keberhasilan negara-negara memberikan status tinggi pada guru dan memiliki “budaya” pendidikan. Lima negara maju tidak menyelenggarakan UAN dengan sistempendidikan terbaik di dunia:
1. Finlandia

Finlandia sebagai negara dengan system pendidikan termaju di dunia tidak mengenal yang namanya Ujian Nasional. Evaluasi mutu pendidikan sepenuhnya dipercayakan kepada para guru sehingga negara berkewajiban melatih dan mendidik guru guru agar bisa melaksanakan evaluasi yang berkualitas. Setiap akhir semester siswa menerima laporan pendidikan berdasarkan evaluasi yang sifatnya personal dengan tidak membandingkan atau melabel para siswa dengan peringkat juara seperti yang telah menjadi tradisi pendidikan kita. Mereka sangat meyakini bahwa setiap individu adalah unik dan memiliki kemampuan yang berbeda beda.
Di Finlandia profesi guru adalah profesi yang paling terhormat. Dokter justru berada dibawah peringkat guru.
2. Amerika Serikat

Amerika yang terdiri dari banyak negara bagian ternyata tidak pernah menyelenggarakan UN atau ujian negara secara nasional.
Walaupun ada ujian yang diselenggarakan oleh masing-masing state (negara bagian), namun tidak semua sekolah diwajibkan mengikuti ujian negara bagian. Tiap negara bagian juga mempunyai materi ujian-masing masing.
Sekolah-sekolah tetap boleh menyelenggarakan ujian sendiri dan menentukan kelulusannya sendiri.
Semua lulusan, baik lulusan yang disenggarakan oleh sekolahnya sendiri atau lulus ujian yang diselenggarakan negara bagian, tetap boleh mengikuti ujian mauk ke college ataupun universitas asal memenuhi persyaratan dan lulus tes masuk.
Logika pendidikan yang digunakan yaitu: Kualitas pendidikan ditentukan oleh individu masing-masing kelulusan. Walaupun Si A lulusan dari SMA pinggiran yang tidak terkenal, kalau dia lulus tes masuk ke Universitas Harvard, maka diapun akan diterima di universitas tersebut.Jadi masalah kualitas ditentukan oleh individu (individual quality).
Pakar pendidikan dari Columbia University, Linda Hammond (1994)
Berpendapat bahwa nasionalisasi ujian sekolah tidak bisa memberi kreativitas guru. Sekolah tidak bisa menciptakan strategi belajar sesuai dengan perbedaan kondisi sosial, ekonomi, budaya, serta kemajuan teknologi. Sistem pendidikan top down oriented, tak bisa menjawab masalah yang ada di daerah-daerah berbeda.

3
. Jerman

Jerman tidak mengenal ujian nasional. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan:


1. menyediakan guru yang profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi
pendidik;
2. menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru;
3. menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus-menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar;
4. evaluasi yang terus-menerus, komprehensif dan obyektif. Melalui model pembelajaran yang seperti inilah, yaitu peserta didik setiap saat dinilai tingkah lakunya, kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya, kemampuan intelektual, partisipasinya dalam belajar yang menjadikan sekolah di Jerman mampu menghasilkan rakyat yang beretos kerja tinggi, peduli mutu, dan gemar belajar.
Mereka setiap hari belajar selalu mendapat tugas dari semua mata pelajaran yang proses maupun hasilnya dinilai dan nilai-nilai ini memengaruhi nilai akhir semester dan seterusnya.
4. Kanada

Di Kanada tidak ada Ujian Nasional karena dianggap tak bermanfaat untuk kemajuan pendidikan di negara itu. Untuk kontrol kualitas di Kanada terdapat penjaminan mutu pendidikan yang kontrolnya sangat kuat. Lembaga penjamin mutu ini benar-benar bekerja secara ketat dari pendidikan dasar hingga menengah. Sehinga murid yang akan masuk ke perguruan tinggi cukup dengan rapor terakhir.
Di Kanada, perguruan tinggi tidak sulit lagi untuk menerima murid darimana pun sekolahnya. Karena standar sekolah di sana sudah sesuai dengan standar perguruan tinggi yang akan dimasuki setiap lulusan sekolah.
Kebalikan dengan di Indonesia, perguruan tinggi banyak yang tidak percaya dengan lulusan sekolah menengah. Saling tidak percaya standar ini yang menyebabkan pemborosan keuangan negara karena harus menyelenggarakan UN dan ujian mandiri.

5. Australia

Di Negara Australia ini, ujian nasional tidak dilaksanakan bahkan tidak dikenal sama sekali, melainkan ujian state. Ujian ini tidak menentukan lulus tidaknya para peserta didik, namun untuk menentukan kemana siswa tersebut akan melanjutkan pendidikan. Berapapun nilai yang didapatkan oleh siswa dari ujian tersebut tetap dinyatakan lulus. Nilai nol pun tetap dinyatakan lulus, namun kelulusan tersebut tidak ada gunanya. Berarti siswa tersebut akan sangat sulit untuk melanjutkan pendidikannya.
7. UAN hanya mengukur kemampuuan kognitifi siswa
Dalam dunia pendidikan, ranah kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa ada tiga yaitu kognitif, psikomotorik, afektif. Sedangkan UAN hanya mengukur kemampuan kognitif siswa, dimana afektif dan psikomotoriknya? Non sen, tidak ada!
Bukankah yang terpenting dari belajar ialah proses, jika UAN  menjadi penentu kelulusan maka untuk apa belajar 6 tahun di Sd, 3 tahun di SMP dan SMA. Serasa perjuangan bertahun-tahun akan mati begitu saja jika 3 hari UAN itu gagal. Ketika M. Nuh menghadiri seminar UAN di sebuah SMA di Palangkaraya bersama Wakil Presiden, Budiono, seorang siswa kelas XI bertanya pada M. Nuh tentang kebijakan UAN yang menentukan kelulusan, bahwa proses belajar 3 tahun hanya ditentukan 3 hari UAN. Jawaban beliau sederhana, “UAN sama saja dengan ulangan. Jika saya tanya kalian apakah mau ada ulangan atau tidak pasti jawabannya tidak”.

5.        FENOMENA UN MERUPAKAN POTRET KEGAGALAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
                                                                                                   
Ujian Nasional (UN) adalah suatu fenomena, semua membicarakannya, semua geger dengannya. Mencermati fenomena pelaksanaan UN dari tahun ke tahun, termasuk tahun ini, terungkap di media masa baik cetak maupun elektronik, terungkap betapa dalam fenomena penyelenggaraan UN masih sangat banyak dijumpai praktek-praktek kotor kecurangan. Praktek busuk kecurangan UN ternyata tidak murni dalam ranah peserta UN, namun justru ada dan mengkerak dalam mindset oknum-oknum penyelenggara UN itu sendiri (bisa guru, kepala sekolah, pejabat dan lain sebagainya).
Sementara itu, dalam tiga tahun terakhir ini di sekolah-sekolah digelorakan sosialisasi pendidikan karakter bangsa, yang salah satu karakter tertinggi adalah kejujuran. Ironisnya, urat malu peserta didik untuk melakukan kecurangan bisa dikatakan sudah putus. Buktinya, peserta UN tidak lagi malu jika ketahuan curang dan ditegur oleh pengawas ujian (kalau pengawasnya mau menegur, dan jika masih ada) tapi malah tidak merasa salah, bahkan bisa jadi, menurut peserta justru yang salah malah pengawasnya mengapa menegur segala. Tempo dulu, jika peserta ujian terpergok pengawas ketika mencontek, maka anak peserta ujian perasaan malunya minta ampun. Hilangnya rasa malu ini tentu merupakan indikasi kalau pendidikan karakter tidak ada gunanya atau kurang berhasil. Fenomena ini, bisa diakibatkan karena ulah para orang di luar murid. Artinya, murid yang mestinya malu berbuat curang menjadi tidak malu karena justru dikondisikan untuk bercurang ria oleh para orang yang mestinya dapat dipatuhi petuahnya di sekolah. Lalu, pertanyaannya dimana pendidikan karakter yang ditanamkan selama ini dan masihkah UN diperlukan jika praksisnya justru menjadi arena penghancurleburan karakter anak bangsa?
Sebenarnya, perdebatan mengenai perlu tidaknya Ujian Nasional (UN) sebenarnya sudah tidak begitu relevan, mengingat walaupun Mahkamah Agung sudah menganulir, namun Pemerintah tetap bersikeras menjalankannya. Untuk menjalankan UN tersebut pemerintah berpijak pada beberapa aturan hukum yang ada yaitu UU nomor 20 tahun 2003 tentang  Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), serta beberapa Permendiknas sebagai bentuk penjabaran peraturan di atasnya seperti Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Dalam standar penilaian pendidikan disebutkan tentang adanya tiga macam penilaian yaitu  pertama penilaian oleh pendidik yang dilakukan oleh Guru yang mengajar bidang studi yang bersangkutan atau guru kelas yang diampu kemudian dikenal dengan ulangan harian termasuk yang ulangan yang dikoordinasikan oleh lembaga/Sekolah yang dikenal dengan ulangan tengah semester, ulangan akhir semester dan ulangan kenaikan kelas. Kedua adalah Penilaian yang dilakukan oleh satuan pendidikan yaitu Ujian Sekolah, dan ketiga adalah penilaian yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap hasil pembelajaran yang dilakukan oleh satuan pendidikan kepada perserta didik yang dikenal dengan Ujian Nasional (UN). Sehingga UN merupakan harga mati yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai wujud tanggung jawab pelaksana Undang-undang di bidang pendidikan di republik ini. Dan, jika pemerintah tidak menyelenggarakan UN justru bisa dianggap melanggar undang-undang.
Perkaranya sekarang, fenomena penyelenggaraan UN yang masih diwarnai banyak kecurangan yang bukan hanya berasal dari ranah murid sendiri, tetapi melibatkan orang-orang yang semestinya berkewajiban menanamkan karakter kejujuran di tempat terhormat dalam fenomena UN, bagaimana penyikapan kita bersama terhadap fenomena ini. Diskusi menarik ini, pertama kali ditanggapi oleh Drs. H. Sirdjanul Ghufron, M. Ed. St. Menurut  Ghufron, selain sebagai penentu kelulusan atas standar yang disyaratkan, UN juga berfungsi sebagai pemetaan pendidikan yang dijadikan dasar analisis untuk pengembangan pendidikan termasuk di dalamnya pemberian bantuan dana.
Dalam konteks ini sekolah yang nilai UN-nya rendah, sangat dimungkinkan proses pembelajaran yang ada di dalamnya maupun sarana penunjang proses pembelajaran tersebut masing sangat kurang, sehingga perlu mendapat bantuan. Artinya, jika sekolah yang hasil UN-nya jeblok, maka sekolah tersebut justru akan memperoleh bantuan dan demi pengembangan sekolah termasuk para pendidiknya. Sontak saja, statemen yang terakhir Ghufron dibantah oleh Agus Prasmono, Redaktur Pelaksana Dinamika Guru yang selama ini sering kelayapan di sekolah pinggiran alias pedesaan. Selama ini, menurut Agus, fakta di lapangan banyak sekolah di pinggiran yang notabene kondisi tenaga pendidik maupun sarana pendukungnya minim serta hasil UN-nya rendah, ternyata sangat minim pula bantuan yang diperolehnya. Bahkan, di Ponorogo ada beberapa SD Inpres yang dibangun tahun 70-an sampai sekarang belum pernah mendapat bantuan apapun termasuk rehap ruang kelasnya. Ironis.  Jadi, argumen yang diajukan oleh Sirdjanul Ghufron bahwa sekolah yang nilai UN-nya jelek malah akan bantuan, menjadi terbantahkan.
Masih menurut Agus, alih-alih memperoleh bantuan dana, pertanyaannya hari gini siapa orang yang ikhlas mau mengakui kekurangannya dengan jebloknya hasil UN? Agus sempat bercerita, pernah bertemu seorang guru SMA di dalam sebuah bis yang mengatakan apa gunanya jujur kalau siswanya banyak yang tidak lulus. Cerita Agus ini bikin ketawa kecut peserta diskusi. Nah, jadi menurut Agus, yang sakit karakternya itu adalah masyarakat di luar murid, sedang murid murni jadi korban belaka. Justru yang kasihan itu muridnya.
Fakta yang diungkap Agus, kembali menurut Sirdjanul Ghufron, dimungkinkan terjadi karena tidak sinkronnya program pemerintah pusat dengan pelaksana di daerah, sehingga yang sering mendapat bantuan adalah sekolah yang kondisinya sudah baik. Akibatnya yang baik makin baik yang jelek tetap jelek bahkan makin jelek (mirip lagunya Rhoma Irama).
Drs. H. Sirdjanul Ghufron, M.Hum: UN untuk standarisasi pendidikan
 Diskusi mulai menghangat, ketika disinggung sering terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan UN, Ghufron mengatakan bahwa itu adalah olah oknum yang ada di bawah seperi oknum kepala sekolah dan guru yang ingin nilai dan kelulusan anak didiknya baik. Sebenarnya, menurut sepengetahuan Ghufron, semua elemen pejabat mulai dari presiden, menteri pendidikan, gubernur sampai dengan kepala dinas pendidikan menyerukan tentang perlunya kejujuran dalam pelaksanaan UN ini. Namun seruan itu sering dikalahkan dengan ambisi pribadi oknum guru dan kepala sekolah yang ingin mencari nama baik sekolahnya karene sering baik tidaknya sekolah dilihat dari ukuran angka-angka yang terpamang dari hasil UN ini. Pengawas yang penah menjadi kepala sekolah di Mesir ini tidak sependapat kalau ketidakjujuran yang sering terjadi di UN dijadikan alasan untuk meniadakan UN. Karena menurutnya, masih banyak nilai pengembangan karakter yang mengiringi UN itu sendiri seperti anak menjadi lebih rajin belajar, disiplin, kerja keras, ulet, punya daya saing dan lain-lain. Akan betapa rendahnya semangat belajar anak bangsa kalau tidak ada UN lagi.  Menurutnya, di hampir semua negara di dunia juga melaksanakan UN ini. Bahkan di Mesir untuk kenaikan pada kelas terakhir sebuah lembaga Pendidikan juga memakai UN yang koreksinya dilakukan antar propinsi sehingga tidak mungkin lagi terjadi manupulasi nilai.
Fenomena UN dan pendidikan karakter ini juga ditanggapi oleh Rusdi, pendidik dari Madrasah Ibtidaiyah di Krebet ini selama ini, menyatakan sering menjumpai ketidakjujuran massal baik oleh guru maupun peserta didik dalam pelaksanaan UN. Seingga sekarang sering dijumpai suatu kondisi yang kontradiktif, di lain pihak sering digelar acara doa bersama (istighotsah) dan beberapa kegiatan yang tujuannya mendekatkan diri pada Sang Pencipta demi keberhasilan ujiannya namun di lain pihak ketidakjujuran juga terus digalakkan, sehingga dia berseloroh hal ini bisa membingungkan malaikat pencatat amal manusia.
Di sisi lain Drs. Sugiyanto, M.Pd. berpendapat bahwa ketidakjujuran dalam UN ini salah satunya berawal dari mendewakannya UN. Pada waktu pelaksanaan UN semua pihak seolah terlibat dan menjadi pengawas pelaksanaan. Mulai pejabat pemerintah (bupati, gubernur), DPR, LSM, Polri, perguruan tinggi, tokoh masyarakat, semua berbicara masalah UN ini. Dengan semua pihak merasa berkepentingan dengan UN ini, maka anak didik akan semakin merasa bahwa UN adalah sesuatu yang menakutkan  dan menjadi momok dalam pendidikan yang dilaluinya. Bahkan lepas UN anak merasa bebas melebihi kebebasan napi koruptor dalam merayakan kebebasannya tersebut. Mestinya semua pihak tadi jangan hanya mengawasi dan mengangkat harkat UN namun yang lebih penting adalah bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan di sekolah. Dengan demikian menurutnya, untuk memecahkan permasalah kecurangan dan ketidakjujuran UN ini butuh pemecahan komprehensip dari pusat hingga guru di lapisan terendah. Sedangkan murid hanya korban atau buah dari pembinaan guru dan lembaga yang bersangkutan.
Mengapa demikian? Hal ini ternyata ada beberapa lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan sangat bagus dalam menyikapi dan melaksanakan UN ini. Edi Supriyanto M.Pd, misalkan, menyebutkan Madrasah Tsanawiyah swasta di wilayah kecamatan Babadan yang pernah ia awasi hampir tidak ada anak yang bertanya apalagi nyonyek ketika UN digelar. Hal ini karena penanaman yang sangat bagus bahwa kejujuran adalah lebih utama dari sekedar angka-angka yang terpampang dalam DANUN.  Dan hasil UN-nya juga sangat bagus alias lulus semua. Sedangkan menurut Drs. Purnomo Sidik Kustiono, M. Hum, ketidakjujuran salah satunya berasal dari krisis kepercayaan yang melanda masyarakat kita ini.
Sedang menurut Sahudi, guru dari Nongkodono Kauman bahwa ketidakjujuran ini sudah menjadi penyakit masyarakat dan pemerintah. Banyaknya kuropsi adalah cermin ketidakjujuran di pemerintahan dan masyarakat pada umumnya. Sekolah juga bagian dari masyarakat. “Ketika birokrasi melakukan kecurangan, bisakah lembaga di bawahnya tidak melakukannya? Dengan kata lain ketidakjujuran di sekolah tentunya berawal dari Kepala Sekolahnya sendiri” katanya dengan penuh semangat. Untuk itu, menurutnya, boleh ada UN namun jangan dijadikan syarat kelulusan. Kelulusan lebih baik orientasi pada proses pendidikan yang ada di dalamnya, karakter yang terbangun dan keberhasilan dalam membangun manusia seutuhnya bukan sekedar dengan angka-angka namun lebih menekankan proses yang ada di dalamnya. Hal ini juga dibenarkan oleh Sunar S.pd guru dari kawasan Ngrandu Kauman mengatakan bahwa ada oknum guru Taman Kanak-kanak yang kebetulan ketemu mantan anak didiknya yang sudah kelas 6 di SD tertentu, yang menyuruh mantan anak didiknya tersebut untuk “saling bantu” ketika ujian berlangsung. Informasi ini justru diperoleh Sunar dari laporan kepolosan anak-anak itu. Hal ini berarti keparahan moral berada pada pendidik dan Kepala Pendidiknya (KS). Keparahan ini, tambah Sahudi, menjadi fenomena massif dengan menunjukkan bukti bahwa betapa hampir di semua sekolah ada modus dimana seorang siswa yang pandai diperankan oleh guru sebagai antena penyebar sinyal jawaban UN kepada teman-teman di kelasnya. Peserta diskusi pun “gerrr” mendapat cerita dari Sunar dan Sahudi tersebut.
Seperti dikatakan Gufron diatas bahwa banyak pengiring yang menyertai UN seperti semangat belajar yang tinggi, ulet dan lain-lain adalah suatu hal yang tidak boleh dilihat sebelah mata. Ketika kejujuran dipermasalahkan sebenarnya benteng terakhirnya adalah kepala sekolah sebagai penanggungjawab pelaksanaan pembelajaran di sekolah tersebut. Karena mulai kepala dinas sampai dengan menteri memerintahkan kejujuran. Diskusi makin menarik dan hangat ketika giliran Drs. Sutejo M.Hum akademisi dari STIKIP Ponorogo ini, berpendapat bahwa system UN ini sangat mempengaruhi pembangunan karakter siswa. Sebagai gambaran ketika UN menjadi satu-satunya penentu kelulusan dulu,  banyak sekolah yang menggunakan segala daya dan upaya untuk “melancarkan” kelulusan siswanya. Namun ketika prosesntase UN diturunkan menjadi hanya 60% semangat ini juga mengendor. Tokoh yang sering memberi motivasi pada sekolah sekolah ini, mengatakan bahwa motivasi siswa sangat berbeda ketika menghadapi sistem UN yang berbeda ini.
Paparan Sutedjo di atas, diperkuat oleh Drs. Muryadi, kandidat magister pendidikan ini, ketika ditemui Dinamika Guru di luar forum diskusi ini, yang menyampaikan biang kerok kehancuran karakter bangsa ini setidaknya ada 2 hal. Pertama, system kelulusan UN sebelum dua lalu yang menggunakan passing grade. Menurutnya, siapa yang tidak gila mendapati siswa terpandainya, bahkan sempat jadi juara olimpiade, tidak lulus gara-gara ada satu saja nilai UN di bawah passing grade. Karenanya, pola passing grade inilah yang menjungkir balikkan logika orang waras. Apalagi, siswa yang tidak lulus dan sekolahnya menanggung beban psikologis dan stigmatisasi dari masyarakat. Dampak lanjutannya dapat ditebak, mau tidak mau, kepala sekolah yang mengomandani institusinya melakukan pengkondisian ‘kecurangan’ sistematis di tahun-tahun berikutnya. Mentalitas dan karakter para punggawa pendidikan luluh lantak dihantam tsunami UN yang memakai system passing grade tadi. Sehingga, sekarang (persisnya sejak dua tahun lalu) meskipun system UN sudah diubah menjadi lebih proporsional, dimana peran sekolah diakui dalam penentuan kelulusan siswa, namun mentalitas dan karakter punggawa pendidikan tadi tidak gampang dipulihkan. Inilah harga yang harus dibayar oleh penentu kebijakan UN dalam hal ini BSNP dan Mendiknas.
Kedua, system penentuan ‘kastanisasi’ sekolah menjadi 3 lapis yaitu sekolah standar, sekolah standar nasional (SSN), dan sekolah bertaraf internasional (SBI), dimana dua yang terakhir ini ada yang melalui tahap rintisan. Untuk bisa naik kasta dari sekolah standar ke SSN misalnya, meskipun syaratnya banyak namun salah satu syarat yang tidak bisa dilompati adalah nilai rata-rata UN harus minimal sekian. Dalam konteks ini, maka kemudian banyak oknum kepala sekolah yang tergoda, bahkan tergila-gila, untuk mengejar prestise. Mudah diduga, jika prestise ini sudah bersemayam di benak kepala sekolah maka berbagai cara untuk menaikkan rata-rata hasil UN akan ditempuhnya juga. Kenapa demikian? Muryadi menduga, sulit (meskipun bukan tidak bisa) sekolah akan memperoleh status bergengsi SSN ataupun SBI meskipun baru bersifat rintisan jika peraihan rata-rata UN dilakukan dengan normal-normal saja.
Bagaimanapun juga, kembali menurut kang Tedjo, demikian panggilan akrabnya dalam komunitas sastra, motivasi untuk percaya diri dalam melaksanakan UN ini ternyata sangat penting. Sebagai contoh, beberapa sekolah pinggiran yang diberi motivasi dengan baik, faktanya anak didiknya bisa bekerja dengan baik pula dalam mengerjakan soal, tidak semata-mata mengandalkan kerjasama dengan teman lainnya.
Drs. Sutejo, M. Hum: Perlu Motivasi percaya diri pada anak didik
Selanjutnya, menurut Peni Nurhidayati, kepala SD di kecamatan Pulung ini, untuk membangun nilai positif yang mengiringi UN ini perlu melibatkan seluruh komponen (stake holder) pendidikan, bukan hanya kepala sekolah dan guru, walaupun keduanya merupakan faktor kunci. Masyarakat kita cenderung sudah pesimis terhadap kebijakan yang positif. Cenderung menilai minir terhadap apa yang mestinya positif memandangnya. Hal ini sebenarnya penyakait masyarakat kita sudah parah, terutama rendahnya nilai kejujuran di masyarakat.
6.        UJIAN AKHIR NASIONAL, MELAHIRKAN KEJUJURAN ATAU KECURANGAN?
Di Indonesia, syarat untuk mendapatkan kelulusan, baik di SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA adalah mengikuti Ujian Akhir Nasional atau sering juga disebut dengan UAN. Ujian Akhir Nasional ini merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk menentukan nasib kelulusan siswa. Namun sejak tahun 2011, Kementerian Pendidikan di Indonesia menetapkan kebijakan baru yaitu penentu kelulusan adalah 60% dari nilai Ujian Akhir Sekolah dan 40% dari Ujian Akhir Nasional. Akan tetapi, walaupun Ujian Nasional hanya 40% penentu kelulusan, tetap saja banyak yang melakukan kecurangan dalam mengerjakan soal-soal UAN yang diberikan. Bahkan, tidak sedikit dalam kecurangan tersebut ada campur tangan orangtua, guru, pengawas, dan oknun-oknum lain yang tidak bertanggung jawab. 
Berbagai cara dilakukan oleh para siswa agar bisa lulus UAN. Bagi siswa yang bersungguh-sungguh dan jujur tentu saja menempuh cara-cara yang jujur pula. Seperti belajar dengan giat, mengikuti bimbingan belajar, dan yang terpenting adalah berdoa. Namun, bagi siswa yang tidak sadar akan kejujuran, cara yang mereka tempuh contohnya seperti menyontek pekerjaan teman pada saat mengerjakan UAN, dan bahkan menyiapkan kunci jawaban sejak jauh-jauh hari. Fenomena ini telah terjadi sejak bertahun-tahun yang lalu setiap UAN dilaksanakan. Jenis-jenis kecurangan dalam UAN ada berbagai macam, dan yang paling laku adalah dengan mengandalkan jawaban yang diterima melalui SMS. Padahal, dalam peraturan UAN, siswa tidak diperkenankan untuk membawa handphone ataupun alat komunikasi yang lain. Tapi, tidak sedikit siswa yang melanggar peraturan tersebut. Bahkan, rata-rata pengawas Ujian Akhir Nasional mengetahui tentang pelanggaran peserta UAN. Tetapi, para pengawas tersebut tetap tinggal diam dan membiarkan peserta UAN beraksi dengan handphone mereka masing-masing. Keaslian jawaban SMS itu tentu saja harus diragukan, karena jawaban yang dikirim melalui SMS itu belum tentu benar 100%. Selain itu yang perlu diingat yaitu pengirim jawaban SMS ini belum tentu mengetahui dengan pasti soal-soal yang diberikan dalam UAN. Meskipun, tidak sedikit guru, pengawas, bahkan kepala sekolah yang menjadi pengirim sms jawaban ini. Walau begitu, tetap saja kita harus waspada dengan SMS jawaban seperti ini karena bisa saja jawaban tersebut salah sehingga menyebabkan ketidaklulusan. Campur tangan pihak sekolah dalam terjadi nya kecurangan di dalam UAN, tentu saja bertujuan untuk menjaga nama baik sekolah. Sekolah yang dapat meluluskan 100% siswanya dianggap sebagai sekolah yang berhasil. Meskipun dalam keberhasilan itu terdapat berbagai macam kecurangan. Selain itu, hal ini juga bertujuan agar pada saat pendaftaran siswa baru, banyak yang berminat di sekolah tersebut sehingga menjadikannya sebagai sekolah favorit.
Dalam menghadapi Ujian Akhir Nasional tentu saja dibutuhkan persiapan yang benar-benar matang agar saat ujian nanti, akan terasa mudah. Beberapa bulan sebelum UAN dilaksanakan, banyak sekolah yang mengadakan les persiapan UAN. Tujuan utamanya yaitu untuk membahas materi-materi yang diprediksikan masuk dalam soal UAN. Para siswa dipacu untuk dapat memahami materi-materi tersebut. Biasanya sebelum les ini diadakan, para siswa terlebih dahulu akan mengikuti Ujian Try Out atau ujian simulasi/percobaan UAN. Materi yang dianggap kurang dipahami oleh sebagian besar siswa akan lebih diperdalam saat les nanti. Setelah materi-materi tersebut sudah dianggap dipahami oleh para siswa, maka akan diadakan kembali Ujian Try Out. Bisanya, Ujian Try Out tersebut dilaksanakan sebanyak 3-4 kali agar siswa dapat lebih memahami/menguasai materi yang telah diajarkan. Bukan hanya sekolah-sekolah yang mengadakan les. Sebelum UAN dilaksanakan, banyak tempat bimbingan belajar yang membuka pendaftaran. Tujuan mereka hampir sama dengan tujuan diadakannya les di sekolah. Namun di beberapa tempat bimbingan belajar, kadang-kadang terdapat tenaga pengajar yang masih merupakan mahasiswa/mahasiswi. Tapi, beberapa diantaranya juga terdapat tenaga pengajar yang sudah sangat ahli.
Walaupun telah dilaksanakan selama bertahun-tahun, Ujian Akhir Nasional masih selalu menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat. Di kalangan masyarakat yang pro terhadap UAN, mempunyai pandangan bahwa UAN bisa menjadi ajang untuk mengevaluasi dan melihat sejauh mana seorang siswa memahami pelajaran yang telah diajarkan di sekolah. Di sisi lain, bagi kalangan masyarakat yang kontra terhadap UAN beranggapan bahwa di dalam pelaksanaan UAN terdapat berbagai macam kecurangan. Sehingga nilai-nilai yang dijadikan landasan kelulusan banyak yang bukan merupakan nilai murni dari siswa. Banyak kejadian-kejadian yang menguatkan opini masyarakat ini salah satunya yaitu, siswa yang sehari-harinya mendapat nilai yang rendah di sekolahnya pada saat pengumuman hasil UAN, ia menjadi siswa dengan nilai UAN tertiggi. Bahkan seringnya kita mendengar kabar bahwa siswa yang merupakan juara kelas atau siswa yang berprestasi di sekolah saat pengumuman hasil UAN, ia tidak lulus. Hal itu tentu saja sangat memperihatinkan.
Dari berbagai opini masyarakat dan fakta-fakta yang bisa kita lihat dalam pelaksanaan Ujian Akhir Nasional, tentu saja kita bisa mengambil kesimpulan, yaitu Ujian Akhir Nasional masih bisa dilaksanakan. Akan tetapi harus dengan pengawasan yang lebih ketat agar menghindari adanya kecuranga-kecurangan yang bisa saja terjadi saat pelaksaan ujian. Perlu diingat lagi bahwa tujuan utama dilaksanakannya UAN yaitu untuk melihat sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi yang telah diajarkan dan menjadi tolah ukur apakah siswa tersebut sudah bisa layak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sebagai bangsa yang sedang berkembang kita tentu saja harus menjaga kualitas para penerus bangsa. Jika sejak dari bangku sekolah mereka diajarkan untuk melakukan sesuatu dengan dilandasi kejujuran maka suatu saat ketika mereka menjadi pemimpin bangsa ini, mereka menjadi pemimpin yang amanah dan dapat memajukan bangsa. Sebaliknya, jika sejak bangku sekolah mereka telah berani berbuat sesuatu yang tidak jujur, kelak jika mereka menjadi pemimpin bangsa, mereka akan menjadi pemimpin yang menyengsarakan rakyat. 
7.              SOLUSI MUDAH LULUS UJIAN NASIONAL 2013

Persiapan Menghadipi Ujian Nasional 2013
Sebagai pelajar/siswa peserta Ujian Nasional baik tingkat SMA, tingkat SMP dan tingkat SD ada baiknya mulai sekarang mempersiapkan alat tempur untuk menghadapi Ujian Nasional 2013 ini, diantara:

Belajar Mandiri
Belajar mandiri ini bisa anda lakukan baik perorangan maupun per-kelompok kecil bersama teman-teman anda, kelemahan dari belajar mandiri ini adalah kurangnya motivasi dari diri sendiri, artinya seorang anak akan acuh tak acuh dalam belajar mandiri yang menimbulkan ketidakseriusan dalam mencerna pelajaran-pelajaran. Solusinya adalah keaktifan orang tua/wali dalam memberikan motivasi untuk selalu belajar yang giat supaya pada akhirnya dapat lulus UN 2013 dan dapat duduk di bangku kuliah, bangku SMA atau bangku SMP.
Ikut Bimbel
Mengikuti program Intensif lewat lembaga bimbingan belajar dikota anda, semisal bimbel Gama College, JILC, RPC dan bimbingan belajar insentive Ujian akhir 2013 serupa. Kelemahan dari program Bimbingan Belajar ini adalah berat di ongkos, artinya seorang siswa yang berasal dari kalangan menengah kebawah agak sulit mengikuti bimbel karena terbentur masalah biaya. Kelebihan dari ikut bombel adalah anak akan termotivasi dan cepat menangkap pelajaran-pelajaran, karena para tentor (guru pembimbing) akan menggunakan segala macam trik dan games-games menarik supaya peserta bimbelnya menghapal dan mengingat secara nalar pelajaran-pelajaran yang sesulit bagiamanapun.
Ikut Les Privat Pada Guru
Kadang seorang guru akan membuka bombingan belajar pribadi secara intinsive di rumahnya pada waktu-waktu diluar jam sekolah. Kelemahan dari les privat pada guru lagi-lagi terbentur masalah biaya, karena tentunya guru yang membuka les private akan mengenakan “uang capek” (Tapi tidak akan semahal uang administrasi lembaga bombel resmi) pada peserta didiknya, dan yang kedua adalah khan 1 guru itu cuman membawakan 1 bidang study saja, jadi artinya seorang siswa akan banyak menghabiskan waktu jika mengikuti les privat seperti ini. kelebihannya karena guru yang membuka bimbingan pribadi atau les privat itu sudah hampir 3 tahun bersentuhan dengan siswa, jadi sang guru akan mengetahui setiap karakter dari siswa-nya dan akan menggunakan teknik mengajar les privat sesuai dengan karakter masing-masing siswa-nya.
Itulah tiga cara yang digunakan oleh banyak siswa, baik siswa tingkat SMA sederajat, SMP sederajat maupun SD sederajat, dalam menaklukkan Ujian nasional yang kian tahun kian diperketat sistem-nya.
Tapi jika anda bertanya tidak adakah lagi cara cepat, instant dan tentu legal dalam menaklukkan Ujian nasional 2013 untuk tingkat SMA, SMP maupun SD???, nah kabar gembira bagi anda yang ingin instant, murah dari segi biaya dan tentu legal (tapi tetap diprioritaskan 3 cara diatas yach, terutama cara belajar mandiri). Oh yach lanjut kemasalah yang instant – instant tadi untuk lulus UN 2013. Yang saya katakan adalah ramuan trik atau rahasia untuk Lulus Ujian Akhir Nasional 2013 untuk tingkat SMA, SMP dan SD, namanya adalah:
Road Map Persiapan Ujian Nasional 2013
·       Road Map ini berisi persiapan – persiapan yang harus kalian lakukan 3 bulan sebelum ujian nasional dilaksanakan
·       Teknik Mengatur Jadwal Belajar Yang Efektif :  Untuk Persiapan Ujian Nasional  modul ini wajib kamu ketahui. Modul ini berisi tentang teknik yang sangat powerful dalam mengatur jadwal belajar kamu.
·       50 Strategi Rahasia Menggunakan Waktu    – Waktu yang ada bagi kamu bagaikan sebilah pedang. Apabila kamu tidak dapat menggunakannya dengan pasti kamu akan terkena dampaknya dalam menghadapi ujian.
DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar