DIBALIK DARI FENOMENA
UJIAN AKHIR NASIONAL
UN
/ ujian nasional merupakan ujian akhir untuk penentuan dari kelulusan pada
tingkat pendidikan. Tak jarang UN ini adalah sosok yang menyeramkan bagi para pelajar
kita. Mereka menganggap kalau UN itu adalah "hantu" yang siap
mencekik mereka dengan bayang-bayang "tidak lulus".
Ujian
akhir nasional, tiga kata inilah yang saat ini menjadi momok yang sangat menakutkan bagi
pelajar-pelajar yang duduk di sekolah menengah
pertama atau menengah atas. Saat mulai menduduki kelas akhir mereka langsung mendapatkan
hantu yang berupa standar nilai kelulusan yang harus
mereka capai.
Tentu
hal ini memiliki dampak positif dan negative bagi siswa tersebut, selain itu banyak sekali
fenomena yang terjadi pasca pemerintah
menetapkan kebijakan ini pada tahun ajaran 2003 yang pertama kali diberlakukan.
Sekolah
adalah sebuah batu loncatan dalam memperoleh masa depan yang tentunya banyak dimiliki oleh
setiap orang, dalam keadaan yang
semakin menekan masyarakat kecil ditambah dengan segala biaya yang selalu berganti harga
menambah daftar penderitaan. Kini
ancaman versi lain pun tengah bergejolak dengan standar nilai kelulusan tentu menjadi sebuah hal yang
akan menentukan masa depan seorang warga Negara Indonesia.
Seiring
perjalanan selama empat tahun ini berbagai polemik pun salah silih berganti menyangkut hantu
yang bernama standar nilai kelulusan
ini, dimulai dengan banyaknya peristiwa siswa yang melakukan bunuh diri karena
tidak lulus, serta depresi yang banyak melanda
serta banyak hal lainnya.
Dengan
singkat kata “standar nilai kelulusan” ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Yang
menjadi pertanyaan besar apakah
“ standar nilai kelulusan” ini menjadi sebuah factor objektivitas dalam menentukan kualitas
pendidikan Indonesia? Tentu
jika jawabannya tidak maka hal ini sangat amat menjadi ironi dalam dunia pendidikan Indonesia yang
terbilang semrawut.
Ada
hal lucu yang menunjukkan bagaimana kontrasnya system pendidikan saat ini dengan metode
multiple choice yang saat ini masih
diterapkan di dunia pendidikan Indonesia saat ini. Banyak siswa yang terbilang memiliki prestasi
serta cukup memiliki potensi di
kelas 1 dan kelas 2 tetapi hancur oleh hanya Ujian Akhir Nasional yang hanya berlangsung selama 3 hari.
Lalu dimana tingkat objektivitas dalam sistem pendidikan
saat ini? Apakah system pendidikan
saat ini lebih mirip ke judi yang selalu mengandalkan peruntungan? Tentu pertanyaan ini
ditujukan bagi kita generasi penerus
bangsa yang semrawut ini yang telah banyak mengorbankan rakyatnya.
Pola
pikir ini sudah ada sejak lama, maka tidak heran dari dulu hingga sekarang
banyak yang takut dengan namanya UN. Pemerintah berharap dengan adanya UN akan
meningkatkan mutu dan standar pendidikan di Indonesia. Tapi, sekarang kita
berkaca dari kenyataan sekarang. Apakah mutu dan standar pendidikan sudah layak
dan semua orang mendapatkan kelayakan pendidikan..?
Seperti
nya belum tuh.. masih banyak banget orang yang belum bisa menikmati bangku sekolah.
UN juga sempat mendapatkan isu untuk dihapus dari sistem pendidikan di
Indonesia. Tapi, niat itu diurungkan dan UN pun tetap dilaksanakan.
Saya
tidak heran, jikalau UN masih terdapat kecurangan dalam beberapa hal. Baik itu
dari pihak sekolah, pengawas dan juga para siswa-siswi. Berbagai cara pun
ditempuh untuk "memuluskan" ujian nasional tersebut. Mulai dari
panitia pengawasan UN hingga anak murid yang diawas pun bertingkah.
Hal
yang pernah saya lihat selama UN berlangsung diantaranya, pengawasan oleh guru
pengawas UN yang tidak begitu ketat dan ada juga beberapa pengawas membiarkan
anak murid selama ujian melakukan kegiatan mencontek masal. Tak heran memang,
didepan publik berkata "Kami tidak melakukan kecurangan" tetapi
dibalik kalimat itu tersirat makna tersembunyi "Kami ingin dapat kunci
jawaban".
Sekarang,
para siswa-siswi atau mungkin juga guru sedang mencari cari keberadaan sang
kunci jawaban dan soal soal bocoran UN. Mereka mulai membuka "link"
baru untuk mendapatkan kunci tersebut. Tak jarang mereka menggunakan
"joki" dalam melakukan permainan. Penelusuran pun dilakukan mulai
dari antar teman, antar kolega hingga internet.
Tidak
semua instansi pendidikan melakukan kegiatan itu. Mereka masih memegang teguh
namanya kejujuran selama UN. Tidak ada bantuan sama sekali, baik berupa kunci
atau barang jawaban lain. Pengawasan pun dilakukan secara ketat dan dipantau
dengan kamera CCTV. Jadi kalau mau menyontek, pikir ulang dulu sebelum akhirnya
ditangkap. Kan malu ditangkap sama polisi dan nama sekolah pun akan tercoreng
dimasyarakat.
Memang
aneh ya, pemerintah ingin sukses tapi rakyat belum mampu mendapatkan
pendidikan, sehingga para siswa dan siswi harus melakukan kegiatan ini
untuk menyukseskan UN dari pemerintah sehingga taraf dan mutu pendidikan akan
menjadi terbaik..? Kita terus berharap akan sebuah kepastian yang tidak
berat sebelah bagi masyarakat dan semoga mutu pendidikan kita menjadi lebih
baik lagi tanpa adanya tindakan kecurangan.
Ujian
Nasional yang dulu pernah bernama Ujian Akhir Nasional ataupun Evaluasi Belajar
Tahap Akhir Nasional selalu menyisakan kisah-kisah paradoks, miris, sedih dan
anomali yang tak terperi bagi wajah pendidikan nasional di negeri ini.
Mulai
kebocoran soal dan kunci jawaban secara sistematis, baik dilakukan oleh oknum ekternal
misalkan dari percetakan hingga distributor dan satuan pengaman pendistribusian
soal, hingga ke oknum di sekolah. Selain pula ada banyak kasus dimana pengawas
ujian yang juga merupakan pengajar sengaja memberikan keleluasaan peserta ujian
untuk melakukan kecurangan. Semua dilakukan untuk mengejar angka akreditasi
atau nilai standar yang dicanangkan sebagai standar evaluasi proses pendidikan.
Bahkan kalau beberapa waktu yang lalu, menjadi penentu kelulusan siswa dari
jenjang pendidikannya.
Bayangkan
saja, 3 tahun berjibaku belajar, namun nasib kemudian ditentukan oleh beberapa
soal saja, dalam durasi 3-4 hari saja dengan mengacu pada angka-angka dan nilai
di atas kertas.
Kemana
kabar soal pendidikan karakter? dimana pendidikan moral dan agama? Kalau kemudian
atas nama “evaluasi belajar tahap akhir” peserta didik melakukan hal-hal dan
tindakan yang telah melanggar norma dan aturan serta nilai-nilai yang menjadi
tujuan besar dari pendidikan itu sendiri?
Belajar
dari banyak kasus seperti ini, pemerintah dan para penggiat pendidikan mesti
berpikir ulang untuk merumuskan metode evaluasi dan penilaian keberhasilan
tahap belajar peserta didik. Sungguh ironi, jika proses evaluasi untuk mengukur
tingkat keberhasilan belajar justru menghancurkan tujuan dan cita-cita
pendidikan itu sendiri.
1.
UJIAN NASIONAL
Ujian
akhir nasional, tiga kata inilah yang saat ini menjadi momok yang sangat menakutkan bagi pelajar-pelajar
yang duduk di sekolah menengah pertama atau menengah atas.
Saat mulai menduduki kelas akhir mereka langsung mendapatkan hantu yang berupa standar nilai kelulusan yang harus
mereka capai.
Tentu
hal ini memiliki dampak positif dan negative bagi siswa tersebut, selain itu banyak sekali
fenomena yang terjadi pasca pemerintah menetapkan kebijakan ini
pada tahun ajaran 2003 yang pertama kali diberlakukan.
Sekolah
adalah sebuah batu loncatan dalam memperoleh masa depan yang tentunya banyak dimiliki oleh
setiap orang, dalam keadaan yang semakin menekan masyarakat
kecil ditambah dengan segala biaya yang selalu berganti harga
menambah daftar penderitaan. Kini ancaman versi lain pun tengah bergejolak
dengan standar nilai kelulusan tentu menjadi sebuah hal yang akan menentukan masa depan seorang warga Negara
Indonesia.
Seiring perjalanan selama empat tahun ini berbagai polemik pun salah silih berganti menyangkut hantu yang bernama standar nilai kelulusan ini, dimulai dengan banyaknya peristiwa siswa yang melakukan bunuh diri karena tidak lulus, serta depresi yang banyak melanda serta banyak hal lainnya.
Seiring perjalanan selama empat tahun ini berbagai polemik pun salah silih berganti menyangkut hantu yang bernama standar nilai kelulusan ini, dimulai dengan banyaknya peristiwa siswa yang melakukan bunuh diri karena tidak lulus, serta depresi yang banyak melanda serta banyak hal lainnya.
Masa-masa
ujian bagi siswa kelas terakhir di semua jenjang sudah di ambang pintu. Tidak
hanya siswa yang akan menghadapi ujian, semua pihak yang berkaitan dengan dunia
pendidikan ikut sibuk mempersiapkan ujian akhir. Kesibukan dalam menyambut
ujian akhir nasional sehubungan dengan sistem pelaksanaan ujian yang berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya.
Konon
sistem ujian akhir nasional kali ini membuat semua pihak merasa was-was.
Paket soal ujian tidak lagi 4 atau 5
melainkan sampai 20 paket. Hal ini berarti, jika siswa dalam satu ruang
berjumlah 20 siswa maka soal setiap siswa akan berbeda. Di sisi lain, tidak ada
lagi siswa yang akan menyontek. Wabah menyontek dalam ujian seperti keluhan
pada tahun-tahun sebelumnya tidak akan ada lagi.
Jika
peserta ujian tidak mempersiapkan diri dengan baik dan maksimal, dikhawatirkan
akan gagal dalam ujian akhir nasional.
Ini resiko yang paling ditakuti oleh siswa, orang tua siswa, bahkan
guru-guru di sekolah.
Sistem
ujian akhir nasional dengan memperbanyak
paket soal jelas bertujuan untuk memperbaiki kualitas hasil pendidikan. Di
samping membuat hasil ujian benar-benar murni, pihak yang mengelola pendidikan
betul-betul mendapatkan data yang akurat tentang kualitas pendidikan.
Menghadapi
ujian akhir nasional kali ini benar-benar membuat pihak sekolah, khususnya
guru, berjibaku mempersiapkan siswa. Berbagai soal-soal latihan telah disuapkan
ke batok kepala siswa, mulai dari pagi sampai sore. Bahkan, ujian-ujian dengan
berbagai label sudah diberikan kepada siswa. Apakah itu ujian tryout, simulasi
dan segala macamnya. Katanya, semakin banyak menjalani latihan semakin bagus
hasil yang akan diperoleh siswa. Benarkah?
Wah,
kalau latihan fisik diperbanyak mungkin saja dapat meningkatkan hasil yang akan
diperoleh. Latihan otak? Otak siswa memiliki kapasitas terbatas untuk menerima
sesuatu. Paling tidak siswa akan mengalami kebosanan. Pendidikan itu kok berisi
latihan dan ujian melulu, dan bukan proses untuk memperoleh hasil sebagaimana
lazimnya?
Sistem
ujian beberapa paket soal dalam ujian akhir nasional mungkin upaya yang bagus
untuk mencapai hasil belajar yang sesungguhnya. Namun proses untuk menghadapi
ujian akhir tersebut perlu diperhatikan kembali oleh semua pihak. Siswa bukan
robot, melainkan manusia yang sedang tumbuh dan berkembang sesuai usia
mereka. Pendidikan itu untuk
memanusiakan manusia sesuai hakikat pendidikan yang sesungguhnya.
System pendidikan yang telah dibuat
pemerintah sekarang pasti tujuannya adalah untuk memperbaiki kualitas dan mutu
pelajar Indonesia. Tujuan ini adalah tujuan yang sangat mulia, tapi menurut
saya apa yang dilihat dan dinilai dari suatu system itu adalah hasilnya. Lalu
bagaimana kwalitas dan mutu pendidikan sekarang dibanding tahun-tahun
sebelumnya ? Apakah semakin membaik ?
Pada kenyataannya kwalitas
pendidikan Indonesia malah semakin menurun. Bagaimana tidak, siswa yang
mengikuti ujian akhir nasional sekarang yang disingkat UAN justru sangat
terbebani dengan standar kelulusan yang ada. Ibaratnya mereka mereka berlari
dikejar sesuatu bukan berlari mengejar sesuatu. Permasalahannya adalah mana
mungkin sekolah yang memiliki fasilatas unggulan disamakan dengan sekolah
pedesaan yang kualitasnya sangat memprihatinkan. Untuk gambarannya silahkan
perhatikan perbedaan kedua gambar dibwaha ini :
Ruang
Kelas Unggulan Ruang
Kelas
memprihatinkan
Seharusnya
yang dilakukan pemerintah adalah memperbaiki fasilitas pendidikan terlebih
dahulu kemudian memberlakukan standar kelulusan yang maksimal. Karena pada
faktanya walaupun sulit dibuktikan saya sering mendengar
informasi dari adik-adik pelajar bahwa mereka yang lulus itu karena mendapatkan
bantuan dari gurunya. Mungkin hal ini terpaksa dilakukan oleh guru
karena apabila siswa mereka tidak lulus maka merupakan kegagalan pula bagi
pengajar. Jadi kalau kenyataannya seperti ini apakah ini akan memperbaiki mutu
pendidikan ?
Dengan
singkat kata “standar nilai kelulusan” ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.
Yang menjadi pertanyaan besar apakah “ standar nilai kelulusan”
ini menjadi sebuah factor objektivitas dalam menentukan
kualitas pendidikan Indonesia? Tentu jika jawabannya tidak maka hal
ini sangat amat menjadi ironi dalam dunia pendidikan Indonesia
yang terbilang semrawut.
Ada
hal lucu yang menunjukkan bagaimana kontrasnya system pendidikan saat ini dengan metode
multiple choice yang saat ini masih diterapkan di dunia pendidikan
Indonesia saat ini. Banyak siswa yang terbilang memiliki prestasi
serta cukup memiliki potensi di kelas 1 dan kelas 2 tetapi hancur
oleh hanya Ujian Akhir Nasional yang hanya berlangsung selama 3
hari. Lalu dimana tingkat objektivitas dalam sistem pendidikan
saat ini? Apakah system pendidikan saat ini lebih mirip ke
judi yang selalu mengandalkan peruntungan? Tentu pertanyaan ini
ditujukan bagi kita generasi penerus bangsa yang semrawut ini
yang telah banyak mengorbankan rakyatnya.
2.
KEGAGALAN UJIAN AKHIR NASIONAL
Dibaca dari detikcom.
Jumlah angka siswa yang tidak lulus UAN mencapai angka 100 ribu di seluruh
Indonesia. Di Jakarta, terdapat 14 sekolah yang persentase kelulusannya hanya
0%. Nol persen!! Dan yang lebih parah lagi, ada 1 orang siswa di Sulawesi yang
bunuh diri karena dirinya tidak lulus UAN. Di Jakarta sendiri, terdapat 4 orang
siswa yang juga melakukan percobaan bunuh diri. Fenomena ini kemudian bertambah
panas sewaktu para orangtua siswa yang tidak lulus UAN itu beramai-ramai
mengunjungi Komnas HAM. Mereka menyatakan bahwa UAN telah melanggar HAM, dengan
argumen bahwa sistem ini masih bersifat trial and error dan memunculkan
ketidakadilan.
Dari pengalaman turun ke berbagai sekolah, ternyata para
guru juga mengeluhkan hal yang sama. Mereka mengeluhkan adanya kurikulum yang
selalu berganti di Indonesia, yang akhirnya harus membuat mereka kewalahan
untuk menyesuaikan dengan rencana pengajaran yang terus berubah setiap
tahunnya.
Kembali ke fenomena kegagalan UAN. Sepertinya ada
beberapa hal yang harus dicermati oleh pemerintah. Pertama, bahwa ukuran
kesuksesan siswa SMA tidak bisa hanya ditentukan oleh ketiga mata pelajaran
saja. Selalu ada nilai lebih yang harus ditonjolkan dari setiap siswa selama 3
tahun masa studinya di bangku SMA. Banyak kasus dimana siswa telah diterima di
sebuah universitas melalui jalur PMDK terpaksa harus mundur karena tidak lulus
UAN. Kedua, peraturan yang diterbitkan seringkali tidak mengacu pada kondisi
sebenarnya yang berada di lapangan. Ada kecenderungan dimana guru dan siswa
Indonesia juga cukup lamban dalam menyikapi adanya peraturan pemerintah yang
selalu berubah-ubah setiap tahunnya. Akselerasi penyesuaian yang dilakukan oleh
sekolah-sekolah di pedesaan tentu tidak akan secepat yang dilakukan oleh
sekolah di perkotaan, apalagi sekolah-sekolah unggulan.
Balik ke masalah bunuh diri tadi. Apabila dilihat dari
faktor pendidikan si anak, tentu kita bertanya mengapa sampai ada angka 4 orang
siswa yang melakukan percobaan bunuh diri, dan 1 orang yang telah meninggal
akibat upaya tersebut. Dalam hal
tersebut memperhatikan 3 faktor dalam membuat sebuah
buku pelajaran, yaitu faktor kognitif, psikomotorik, dan afektif. Dalam
fenomena bunuh diri ini, sepertinya faktor afektif yang telah dicantumkan dalam
berbagai bentuk soal tidak diterapkan oleh siswa (atau guru?) di kelas dengan
baik. Saya sempat berpikir dan sedikit bersedih, sebenarnya dimanakah letak
kesalahannya? Bunuh diri merupakan sebuah hal yang tidak pernah saya pikirkan
selama ini. Bahwa bunuh diri itu merupakan potret gagalnya
pendidikan di Indonesia.
Sejak
Lama, Ujian Nasional Sudah Gagal sekitar 48 tahun lamanya, warga
negara Indonesia mengenal ujian kelulusan. Namanya bermacam-macam, tetapi
mengusung tujuan yang sama, yaitu lulus dari jenjang satu untuk melanjutkan ke
jenjang lainnya. Ironisnya, tak satu pun dinilai berhasil memperbaiki kualitas
pendidikan Indonesia.
Penasihat
Ikatan Guru Indonesia (IGI), Itje Chodijah, mengatakan bahwa sekian lama ujian
penentu kelulusan ini hanya memenuhi agenda pemerintah untuk melanjutkan proyek
dengan aliran dana yang besar.
"Kalau
dibilang keberhasilan UN itu keberhasilan seperti apa? Lulus semua itu dibilang
berhasil? Itu hanya keberhasilan semu. Sejak lama, UN ini sudah gagal,"
kata Itje saat dijumpai seusai jumpa pers pelaksanaan UN di Kantor ICW,
Jakarta, Selasa (16/4/2013).
Seperti
diketahui, Ujian Nasional (UN) yang dikenal sekarang berawal dengan nama Ujian
Negara pada tahun 1965-1971, lalu sempat diambil alih oleh sekolah dan disebut
Ujian Sekolah pada tahun 1972-1979. Mulai tahun 1980-2000, Ujian Sekolah diganti
oleh Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) dengan dalih mengendalikan
mutu pendidikan nasional dan kembali dijalankan oleh pusat.
Memasuki
periode 2001-2004, Ebtanas berubah nama menjadi Ujian Akhir Nasional (UAN).
Kemudian, mulai 2005 hingga saat ini, nama UN yang digunakan dengan perbedaan
aturan seperti adanya nilai batas kelulusan untuk tiap mata pelajaran dan
rata-rata nilai serta menggabungkan dengan akumulasi nilai rapor dan ujian
sekolah.
"Tapi,
pada dasarnya, mau seperti apa pun, UN ini nggak penting. Kalau dibilang
nasional, standar pendidikan seperti apa yang dipakai? Standar sekolah kota
pastinya," ujar Itje.
Hal
ini tentu tidak adil bagi daerah-daerah di luar ibu kota atau di luar Pulau
Jawa yang memiliki standar pendidikan jauh berbeda. Saat dibilang merata dan
diberikan kisi-kisi yang sama, pada kenyataannya, hal tersebut sulit berjalan
karena UN ini tidak hanya terbatas pada standar materi ujian.
"Sekarang
soalnya sama semua. Tapi, pengajarnya yang mengajarkan materi itu kemampuannya
tidak sama, lalu anaknya yang diuji. Coba bayangkan saja logikanya seperti
apa," ungkap Itje.
Untuk
itu, ia memberi saran agar tiap unsur pendidikan baik guru, kepala sekolah,
maupun pengawas distandardisasi terlebih dahulu. Apabila standar minimumnya
tercapai dan ada patokan yang pasti, anak-anak berhak diuji sesuai dengan
standar yang ada.
"Jadi,
UN boleh saja selama semuanya sudah standar. Ya guru, kepala sekolah, pengawas,
dan sekolahnya sendiri," ujarnya.
Pada
kenyataannya, pemerintah sendiri mengklasifikasikan sekolah dengan sekolah
unggulan, sekolah standar nasional, sekolah reguler, sekolah satu atap, dan
lain-lain. "Tapi, saat ujiannya disamakan, masuk akal atau tidak seperti
itu," ungkapnya.
"Jadi,
di luar penundaan UN dan teknis lainnya, ujian seperti ini sudah tidak penting.
Siswa belajar hanya untuk ujian, bukan untuk menguasai suatu hal,"
tandasnya.
Mengapa penyimpangan ujian nasional
selalu terjadi dari tahun ke tahun? Salah satu alasan utama adalah sikap
masyarakat yang permisif terhadap penyimpangan menyebabkan penyimpangan di
berbagai bidang sulit diberantas, termasuk dalam dunia pendidikan. Apapun
sistemnya jika masyarakat kita tidak mau diajak menjadi manusia
(masyarakat) yang berkwalitas maka tetap saja terjadi penyimpangan. Pada hal
untuk menjadi bangsa yang maju, salah satu syarat yang diutamakan adalah
manusia (masyarakat) yang berkwalitas baik jasmani maupun rohani.
Menerapkan sistem penilaian
pendidikan yang baik yang dapat meminimalisir penyimpangan ujian nasional
mutlak perlu dilakukan agar ujian nasional pada segala tingkatan (jenjang)
pendidikan kian tahun kian berbobot. Mulai dari pendistribusian soal sampai
pada pengerjaan naskah soal oleh siswa di masing-masing sekolah perlu
diperketat, tanpa mengganggu konsentrasi siswa. Pengawasan ruang dan pengawasan
dari tim independen harus diselenggarakan oleh insan pengawas yang kredibel dan
memiliki integritas. Mereka harus memiliki komitmen terhadap mutu pendidikan
yang tinggi. Sanksi yang berat harus dikenakan terhadap mereka yang melanggar
prosedur operasi sistem, misalnya pencabutan sertifikat dan tunjangan profesi
bila mereka memiliki sertifikat pendidik. Tak terkecuali, sanksi diterapkan
juga kepada penyelenggara pendidikan tingkat sekolah baik negeri maupun swasta.
Misalnya, mereka tidak boleh menyelenggarakan ujian nasional secara mandiri.
Bukan bermaksud
memojokkan pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan berbagai pihak yang
mengawal ujian nasional, namun berusaha memberikan masukan yang obyektif
mengenai kecurangan ujian nasional yang sistematis dan profesional. Tidak ada
kebocoran soal dan kunci jawaban ujian nasional (resmi) kepada siswa. Ada
oknum yang tidak bertanggung jawab membuat kunci jawaban ujian nasional sendiri
menurut versi mereka dan disebarkan kepada siswa. Pada tingkatan
pendistribusian naskah soal di daerah yang masih longgar pengawasannya, rentan
terjadi penyimpangan dalam berbagai bentuk dan cara yang sangat rapi dan
profesional.
Marilah kita
perangi bersama bentuk-bentuk penyimpangan ujian nasional agar sistem
pendidikan kita sungguh-sungguh melahirkan manusia yang cerdas, terampil,
berbudi pekerti luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai amanat
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional dan akhirnya menjadi bangsa yang maju
yang disegani banyak negara.
Sudah
banyak media mengekfos berbagi macam kasuk kecurangan dalam Ujian Nasional di
Indonesia, contoh :
-
JAKARTA–MICOM: Wakil Ketua MPR
Lukman Hakim Saefudin meminta penyelenggara pendidikan untuk menjadi teladan
kejujuran.
Lukman mengatakan demikian setelah mengetahui bahwa
Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh sangat defensif terkait kasus ibu Siami,
Ibunda AL, siswa yang yang melaporkan insiden sontek massal saat ujian nasional
di SDN 2 Gadel, Surabaya, April lalu.
“Menteri pendidikan begitu defensif,
padahal Al mengaku kalau sontekan yang ia beri kepada temannya
disalah-salahkan, karena Al tidak rela ujiannya disontek massal, dan Menteri
menyatakan hasil ujian masing-masing anak berbeda,” ucap di diskusi
polemik dengan tema Tragedi Siami Negeri Kleptokrasi di Warung Daun, Jakarta,
Sabtu (18/6).
Menurut Lukman, saat ini dalam dunia pendidikan terdapat
pergeseran nilai. Pergeseran nilai yang dimaksud adalah sikap permisif dari
pimpinan pendidikan dan penyelenggara untuk menolerir kesalahan. Karena itu,
harus ada revolusi total dalam dunia pendidikan.
“Ini pergeseran nilai yang luar biasa. Harus terjadi
revolusi di sektor pendidikan, agar dilakukan radikalisasi oretasi pendidikan,
karena ini sangat serius,” tegasnya.
Lukman pun meminta agar penyelenggara pendidikan
intropeksi diri. Dalam kasus Siami, sontek massal di Surabaya, tidak sepenuhnya
guru dipersalahkan, karena guru mendapat tekanan bagaimana caranya murid
mendapat nilai yang bagus untuk bisa lulus ujian nasional.
“Tidak bisa salahkan guru yang memberi perintah
untuk bocoran, karena guru tertekan memiliki tanggung jawab hasil terbaik
kelolosan murid terhadap UN,” ucapnya. (*/OL-9).
-
Ujian Nasional
Justru Lahirkan Kebohongan
Penulis : Torie Natallova
Kamis, 16 Juni 2011 19:32 WIB
JAKARTA–MICOM: Dewan Perwakilan Daerah meminta Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghentikan program ujian nasional (UN) di
Indonesia. Menurut Wakil Ketua DPD Laode Ida, UN terlalu dipaksakan sehingga
semua sistem dan penyelenggara tersangkut kebohongan.
“SBY saya minta untuk mengomandoi penghentian UN. Kalau
tidak, maka bisa menjadikan bangsa ini pelahir kebohongan,” kata Laode saat
ditemui di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (16/6).
Selain itu, Laode Ida mengatakan UN sebenarnya
bertentangan dengan UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003. Ujian
nasional bukanlah penentu kelulusan siswa menurut UU tersebut. DPD sebenarnya
sudah dengan tegas menolak UN, namun kenyataannya UN tetap dipaksa berjalan.
Akibatnya, timbul kasus-kasus seperti Alifah, anak ibu Siami.
“Pemaksaan ini menjadikan semua pihak yang terlibat
dalam penyelenggaraan UN, proyek itu hanya menghabiskan uang dan sarat
kebohongan. Kasus Alifa, menjadi bukti nyata bahwa pendidikan sangat
menjungkirbalikkan nilai-nilai fundamental, kejujuran dihancurkan hanya karena
gengsi,” tuturnya. (OL-8) .
-
Kasus Sontekan
Massal Momentum Kaji UN
JAKARTA–MICOM: Anggota Komisi X DPR yang membidangi
pendidikan, olah raga, dan kebudayaan Rohmani menyatakan, kasus Ny Siami, yang
berani membongkar ketidakjujuran pada pelaksanaan ujian nasional, hendaknya
dijadikan momentum mengkaji ulang UN.
“Kejadian yang menimpa ibu Siami adalah tamparan bagi
pemangku kebijakan pendidikan nasional yang didasarkan atas coba-coba,” katanya
dalam penjelasan melalui surat elektronik di Jakarta, Selasa (14/6).
Siami, orang tua Al, siswa kelas VI SD Negeri Gadel II,
Kecamatan Tandes, Surabaya, Jawa Timur bersama keluarganya kini mengungsi ke
rumah saudaranya setelah mengungkapkan kasus mencontek massal yang terjadi di
sekolah tersebut saat ujian akhir sekolah bertaraf nasional (UASBN) 2011. Ia
mengungsi setelah sejumlah warga dan wali murid sekolah itu menganggap dia
mencoreng nama baik sekolah.
Menurut Rohmani, selama ini pemerintah belum serius
memperbaiki wajah pendidikan nasional. Hal ini tampak dari berbagai kebijakan
pendidikan yang dibuat pemerintah jauh dari realitas kebutuhan pendidikan
nasional.
Dikemukakannya, dua contoh yang paling nyata adalah UN
dan sekolah bertaraf internasional (rintisan). Kedua program ini dinilainya
gagal menjawab pendidikan nasional.
“Kedua program ini justru menimbulkan masalah sosial
baru di tengah masyarakat. Sekolah bertaraf internasional menimbulkan kelas
sosial baru dalam pendidikan nasional. Sementara UN menjauhkan pendidikan
nasional dari proses. Bukankah pendidikan itu proses bukan semata-mata
beorientasi hasil,” katanya.
Ia mengatakan, UN telah mengakibatkan persoalan serius
dalam penataan pendidikan nasional.
“Bukannya memperbaiki wajah pendidikan nasional, UN
justru kian memperburuk. Sejak adanya UN orientasi pendidikan hanya untuk
lulus. Segala cara ditempuh untuk mampu menjawab soal ujian,” katanya.
Akibatnya, kata dia, bangku sekolah hanya untuk menjawab
soal-soal ujian, sementara penanaman nilai-nilai kebangsaan dan karakter
semakin minim.
“Saya kira kita sudah melihat jelas, saya yakin
pemerintah juga tahu. Anak didik kita saat ini diformat untuk mampu lulus UN.
Bukan lagi penanaman nilai agar kelak mereka bisa menlanjutkan keberlangsungan
bangsa ini,” katanya.
Pada akhirnya, kata dia, mereka hanya menjadi objek
pembuat kebijakan pendidikan. Di samping itu, sudah sering dilihat di media dan
beberapa informasi yang diterimanya bahwa praktik ketidakjujuran itu terjadi
ketika UN berlangsung.
“Jika demikian adanya, maka UN telah membuat bangsa ini
semakin tidak jujur,” kata anggota DPR dari Fraksi PKS itu.
Menurut dia, kasus yang menimpa Ny Siami adalah bentuk
nyata betapa UN telah menciptakan ketegangan sosial di tengah masyarakat.
Suasana ini telah menciptakan keresahan di tengah masyarakat.
Ironisnya lagi, kata dia, UN ini telah mengakibatkan
konflik di tengah masyarakat seperti yang dialami ibu Siami.
“Persoalan yang menimpa ibu Siami tidak bisa dipandang
sebelah mata. Kemdiknas harus menjadikan ini sebagai bahan pertimbangan untuk
mempertimbangkan keberadaan UN. Jangan sampai UN ini jadi teror baru di tengah
dunia pendidikan nasional,” katanya.
Idealnya pendidikan menciptakan keselarasan sosial, dan
bukan sebaliknya menciptakan keresahan sosial, dan saat ini UN sudah
menciptakan keresahan sosial, kata Rohmani.
Oleh karena itu, ia berpendapat bila UN harus dikaji
ulang, terlebih setelah kasus yang menimpa ibu Siami ini terjadi.
Sejak awal, pihaknya sudah melakukan sikap kritis
terhadap kebijakan UN sebagai penentu kebijakan kelulusan. “Ini momentum bagi
kami untuk memperjuangkan kembali bila UN bukan penentu kelulusan,” katanya.
(Ant/wt/X-12)
4. Ujian Akhir Nasional Tidak Cocok untuk Indonesia
Ujian
Akhir Nasional (UAN) setiap tahun menjadi momok yang menakutkan bagi semua
orang, bukan hanya siswa namun orang tua murid, saudara, keluarga. Meski
sebenarnya UAN bukanlah sesuatu yang seharusnya ditakuti namun yang patut
menjadi perhatian ialah kekacauan penyelenggaraan UAN setiap tahunnya. Bukankah
bukan pertama kalinya Indonesia melaksanakan UAN, tapi tetap saja terjadi
kekacauan setiap tahunnya. Entah itu masalah teknis ataupun terkait pro dan kontra
adanya UAN. Apa yang salah sebenarnya? Disini bukan salah siapa atau siapa yang
patut dijadikan kambing hitam. Bukan pula menyalahkan Menteri Pendidikan.
Kekacauan teknis seperti pendistribuan soal, kertas tipis, pelaksanaan UAN yang
tak serentak nasional, tidak bisa kesalahan tersebut dilimpahkan pada Menteri
Pendidikan kita, Muh. Nuh. Bukan salah beliau.
Ketika
Pemerintah tetap teguh dengan pendiriannya perlunya UAN, sebetulnya ada banyak
hal yang patutnya dikaji apakah UAN masih cocok diterapkaan di Indonesia. Ada
banyak alasan UAN tidak lagi cocok dilaksanakan di Indonesia.
a.
Alasan
letak geografis Indonesia
Indonesia
merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.000 pulau tersebar
diseluruh nusantara menjadi kendala tersendiri, terutama terkait
pendidtribusian soal yang ramai dibicarakan pada kekacauan UAN tahun ini.
Indonesia yang begitu luas, dimana setiap pulau terpisah oleh lautan
mempersulit distribusi soal UAN, perlu perencanaan detail, tidak bisa
sembarangan dan asal-asalan.
b.
Pelajar
itu subjek pendidikan bukan objek pendidikan
Keberadaan
UAN justru menjadi alat coba-coba untuk pelajar. Setiap tahun aturan UAN terus
berubah, mulai dari standar nilai, perubahan kurikulum, dan paket soal. Sistem
yang tidak jelas seolah menjadi ajang coba-coba pemerintah untuk menerapkan
suatu kebijakan. Padahal anak bukan ajang percobaan, mereka adalah anak yang
seharusnya mendapatkan pelayanan pendidikan yang selayaknya. Mereka adalah
subjek, pelaku pendidikan yang memiliki hak dasar mendapat pendidikan, bukan
objek penelitian dan carut-marut kebijakan.
c.
Kualitas
pendidikan yang tidak merata
Kualitas
pendidikan Indonesia yang tidak merata menyebabkan ketimpangan hasil UAN
antara daerah kota dengan pendidikan maju dibanding daerah pinggiran dengan
failitas pendidikan terbatas. Jika pada kenyataannya kulitas pendidikan di
Indonesia belum merata, saya rasa UAN tidak layak dijadikan standarisasi
penilaian nasional. Apalagi dijadikan syarat kelulusan, meski sekarang ini
prosentasenya 60% dan 40% dari sekolah. Tapi tetap saja UAN masih menjadi
standar. Standar nilai kelulusan UAN 5,5 sangat lah ringan untuk
sekolah-sekolah maju dikota, tapi tidak untuk sekolah pinggriran. Membaca saja
masih menjadi persoalan di pelosok-pelosok negeri ini.
d.
Soal
UAN tidak adil
Pembuatan
soal UAN yang distandarkan untuk nasional menimbulkan ketidakadilan. Ketika
pihak pembuat soal mempertimbangkan bahwa soal diperuntukkan bagi seluruh siswa
di Indonesia, baik di daerah maupun kota, tentu pihak pembuat soal harus
memperhitungkan apakah soal-soal tersebut memenuhi standar kelulusan untuk
semua sekolah. Padahal kualitas sekolah sekali lagi berbeda. Bagi sekolah maju
mungkin soal-soal UAN tidak sulit dibandingkan standar pendidikan disekolah
mereka bahkan terlalu mudah. Tapi bagaimana dengan sekolah pinggiran, apakah
soal-soal tersebut sesuai dengan starandar mereka? Terlalu sulit bisa
jadi.
e.
Setiap
daerah memiliki kebutuhan dan standar pendidikan tersendiri
Negara
kita hampir mirip dengan Amerika yang multikultural, bedanya setiap pulau di
Indonesia terpisah oleh lautan sedangkan Amerika hanya dibatasi daratan. Namun
apa yang sama bahwa Amerika juga memiliki masyarakat yang beragam, bangsa
imigran. Setiap daerah memiliki kebudayaan, kebutuhan, dan standar pendidikan
tersendiri. Amerika dikenal dengan sistem pendidikannya yang maju dan dipandang
di dunia. Dalam sistem pendidikan di negri Paman Sam tidak ada Ujian Nasional
karena setiap negara bagian memiliki kebutuhan berbeda akan pendidikan.
Mereka menyelenggarakan Ujian per negara bagian, soal yang dibuat dari
negara bagian, bahkan jika memang tidak berkenan dengan soal-soal dari negara
bagian mereka berhak menolak dan menyelenggarakan ujian mandiri. Tidak ada
penyetandaran secara nasional. Lalu bagaimana mengukur kemmapuan siswa untuk
masuk ke jenjang yang lebih tinggi? Kualitas individu menjadi faktor
penentu, tidak menjadi soal ia berasal dari pinggiran maupun kota asalkan ia
bisa bersaing untuk meneruskan pendidikan dan mengenyam pendidikan yang lebih
baik.
f.
UAN
bukan penjamin kualitas pendidikan baik secara individu maupun nasional
Berdasarkan
tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson, sistem
pendidikan Indonesia berada di posisi terbawah bersama Meksiko dan Brasil.
Peringkat disusun berdasarkan keberhasilan negara-negara memberikan status
tinggi pada guru dan memiliki “budaya” pendidikan. Lima negara maju tidak
menyelenggarakan UAN dengan sistempendidikan terbaik di dunia:
1. Finlandia
Finlandia sebagai negara dengan system pendidikan termaju di dunia tidak mengenal yang namanya Ujian Nasional. Evaluasi mutu pendidikan sepenuhnya dipercayakan kepada para guru sehingga negara berkewajiban melatih dan mendidik guru guru agar bisa melaksanakan evaluasi yang berkualitas. Setiap akhir semester siswa menerima laporan pendidikan berdasarkan evaluasi yang sifatnya personal dengan tidak membandingkan atau melabel para siswa dengan peringkat juara seperti yang telah menjadi tradisi pendidikan kita. Mereka sangat meyakini bahwa setiap individu adalah unik dan memiliki kemampuan yang berbeda beda.
Di Finlandia profesi guru adalah profesi yang paling
terhormat. Dokter justru berada dibawah peringkat guru.
2. Amerika Serikat
Amerika yang terdiri dari banyak negara bagian ternyata tidak pernah menyelenggarakan UN atau ujian negara secara nasional.
Walaupun ada ujian yang diselenggarakan oleh masing-masing state (negara bagian), namun tidak semua sekolah diwajibkan mengikuti ujian negara bagian. Tiap negara bagian juga mempunyai materi ujian-masing masing.
Sekolah-sekolah tetap boleh
menyelenggarakan ujian sendiri dan menentukan kelulusannya sendiri.
Semua lulusan, baik lulusan yang
disenggarakan oleh sekolahnya sendiri atau lulus ujian yang diselenggarakan
negara bagian, tetap boleh mengikuti ujian mauk ke college ataupun universitas
asal memenuhi persyaratan dan lulus tes masuk.
Logika pendidikan yang digunakan
yaitu: Kualitas pendidikan ditentukan oleh individu masing-masing kelulusan.
Walaupun Si A lulusan dari SMA pinggiran yang tidak terkenal, kalau dia lulus
tes masuk ke Universitas Harvard, maka diapun akan diterima di universitas
tersebut.Jadi masalah kualitas ditentukan oleh individu (individual quality).
Pakar pendidikan dari Columbia
University, Linda Hammond (1994)
Berpendapat bahwa nasionalisasi ujian sekolah tidak bisa memberi kreativitas guru. Sekolah tidak bisa menciptakan strategi belajar sesuai dengan perbedaan kondisi sosial, ekonomi, budaya, serta kemajuan teknologi. Sistem pendidikan top down oriented, tak bisa menjawab masalah yang ada di daerah-daerah berbeda.
Berpendapat bahwa nasionalisasi ujian sekolah tidak bisa memberi kreativitas guru. Sekolah tidak bisa menciptakan strategi belajar sesuai dengan perbedaan kondisi sosial, ekonomi, budaya, serta kemajuan teknologi. Sistem pendidikan top down oriented, tak bisa menjawab masalah yang ada di daerah-daerah berbeda.
3 . Jerman
Jerman tidak mengenal ujian nasional. Kebijaksanaan yang diutamakan adalah membantu setiap peserta didik dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan:
1. menyediakan guru yang profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik;
2. menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan
peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga
dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru;
3. menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan
peserta didik dapat secara terus-menerus belajar melalui membaca buku wajib,
buku rujukan, dan buku bacaan, (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium
dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan
menikmati belajar;
4. evaluasi yang terus-menerus, komprehensif dan
obyektif. Melalui
model pembelajaran yang seperti inilah, yaitu peserta didik setiap saat dinilai
tingkah lakunya, kesungguhan
belajarnya, hasil belajarnya, kemampuan intelektual, partisipasinya dalam
belajar yang menjadikan sekolah di Jerman mampu menghasilkan rakyat yang
beretos kerja tinggi, peduli mutu, dan gemar belajar.
Mereka setiap hari belajar selalu mendapat tugas
dari semua mata pelajaran yang proses maupun hasilnya dinilai dan nilai-nilai ini
memengaruhi nilai akhir semester dan seterusnya.
4. Kanada
Di Kanada tidak ada Ujian Nasional karena dianggap tak bermanfaat untuk kemajuan pendidikan di negara itu. Untuk kontrol kualitas di Kanada terdapat penjaminan mutu pendidikan yang kontrolnya sangat kuat. Lembaga penjamin mutu ini benar-benar bekerja secara ketat dari pendidikan dasar hingga menengah. Sehinga murid yang akan masuk ke perguruan tinggi cukup dengan rapor terakhir.
Di Kanada, perguruan tinggi tidak
sulit lagi untuk menerima murid darimana pun sekolahnya. Karena standar sekolah
di sana sudah sesuai dengan standar perguruan tinggi yang akan dimasuki setiap
lulusan sekolah.
Kebalikan dengan di Indonesia,
perguruan tinggi banyak yang tidak percaya dengan lulusan sekolah menengah.
Saling tidak percaya standar ini yang menyebabkan pemborosan keuangan negara
karena harus menyelenggarakan UN dan ujian mandiri.
5. Australia
Di Negara Australia ini, ujian nasional tidak dilaksanakan bahkan tidak dikenal sama sekali, melainkan ujian state. Ujian ini tidak menentukan lulus tidaknya para peserta didik, namun untuk menentukan kemana siswa tersebut akan melanjutkan pendidikan. Berapapun nilai yang didapatkan oleh siswa dari ujian tersebut tetap dinyatakan lulus. Nilai nol pun tetap dinyatakan lulus, namun kelulusan tersebut tidak ada gunanya. Berarti siswa tersebut akan sangat sulit untuk melanjutkan pendidikannya.
7.
UAN hanya mengukur kemampuuan kognitifi siswa
Dalam
dunia pendidikan, ranah kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa ada tiga yaitu
kognitif, psikomotorik, afektif. Sedangkan UAN hanya mengukur kemampuan
kognitif siswa, dimana afektif dan psikomotoriknya? Non sen, tidak ada!
Bukankah
yang terpenting dari belajar ialah proses, jika UAN menjadi penentu
kelulusan maka untuk apa belajar 6 tahun di Sd, 3 tahun di SMP dan SMA. Serasa
perjuangan bertahun-tahun akan mati begitu saja jika 3 hari UAN itu gagal.
Ketika M. Nuh menghadiri seminar UAN di sebuah SMA di Palangkaraya bersama
Wakil Presiden, Budiono, seorang siswa kelas XI bertanya pada M. Nuh tentang
kebijakan UAN yang menentukan kelulusan, bahwa proses belajar 3 tahun hanya
ditentukan 3 hari UAN. Jawaban beliau sederhana, “UAN sama saja dengan ulangan. Jika
saya tanya kalian apakah mau ada ulangan atau tidak pasti jawabannya tidak”.
5.
FENOMENA UN MERUPAKAN POTRET KEGAGALAN PENDIDIKAN DI
INDONESIA
Ujian Nasional (UN) adalah suatu fenomena, semua
membicarakannya, semua geger dengannya. Mencermati fenomena pelaksanaan UN dari tahun ke
tahun, termasuk tahun ini, terungkap di media masa baik cetak maupun
elektronik, terungkap betapa dalam fenomena penyelenggaraan UN masih sangat
banyak dijumpai praktek-praktek kotor kecurangan. Praktek busuk kecurangan UN
ternyata tidak murni dalam ranah peserta UN, namun justru ada dan mengkerak
dalam mindset oknum-oknum penyelenggara UN itu sendiri (bisa guru, kepala
sekolah, pejabat dan lain sebagainya).
Sementara itu, dalam tiga tahun terakhir ini di
sekolah-sekolah digelorakan sosialisasi pendidikan karakter bangsa, yang salah
satu karakter tertinggi adalah kejujuran. Ironisnya, urat malu peserta didik
untuk melakukan kecurangan bisa dikatakan sudah putus. Buktinya, peserta UN
tidak lagi malu jika ketahuan curang dan ditegur oleh pengawas ujian (kalau
pengawasnya mau menegur, dan jika masih ada) tapi malah tidak merasa salah,
bahkan bisa jadi, menurut peserta justru yang salah malah pengawasnya mengapa menegur
segala. Tempo dulu, jika peserta ujian terpergok pengawas ketika mencontek,
maka anak peserta ujian perasaan malunya minta ampun. Hilangnya rasa malu ini
tentu merupakan indikasi kalau pendidikan karakter tidak ada gunanya atau
kurang berhasil. Fenomena ini, bisa diakibatkan karena ulah para orang di luar
murid. Artinya, murid yang mestinya malu berbuat curang menjadi tidak malu
karena justru dikondisikan untuk bercurang ria oleh para orang yang mestinya
dapat dipatuhi petuahnya di sekolah. Lalu, pertanyaannya dimana pendidikan
karakter yang ditanamkan selama ini dan masihkah UN diperlukan jika praksisnya
justru menjadi arena penghancurleburan karakter anak bangsa?
Sebenarnya, perdebatan mengenai perlu tidaknya Ujian
Nasional (UN) sebenarnya sudah tidak begitu relevan, mengingat walaupun
Mahkamah Agung sudah menganulir, namun Pemerintah tetap bersikeras
menjalankannya. Untuk menjalankan UN tersebut pemerintah berpijak pada beberapa
aturan hukum yang ada yaitu UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas), Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP), serta beberapa Permendiknas sebagai bentuk
penjabaran peraturan di atasnya seperti Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Dalam standar penilaian pendidikan disebutkan tentang
adanya tiga macam penilaian yaitu pertama penilaian oleh pendidik yang
dilakukan oleh Guru yang mengajar bidang studi yang bersangkutan atau guru kelas
yang diampu kemudian dikenal dengan ulangan harian termasuk yang ulangan yang
dikoordinasikan oleh lembaga/Sekolah yang dikenal dengan ulangan tengah
semester, ulangan akhir semester dan ulangan kenaikan kelas. Kedua adalah
Penilaian yang dilakukan oleh satuan pendidikan yaitu Ujian Sekolah, dan ketiga
adalah penilaian yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap hasil pembelajaran
yang dilakukan oleh satuan pendidikan kepada perserta didik yang dikenal dengan
Ujian Nasional (UN). Sehingga UN merupakan harga mati yang harus dilakukan oleh
pemerintah sebagai wujud tanggung jawab pelaksana Undang-undang di bidang
pendidikan di republik ini. Dan, jika pemerintah tidak menyelenggarakan UN
justru bisa dianggap melanggar undang-undang.
Perkaranya sekarang, fenomena penyelenggaraan UN yang
masih diwarnai banyak kecurangan yang bukan hanya berasal dari ranah murid
sendiri, tetapi melibatkan orang-orang yang semestinya berkewajiban menanamkan
karakter kejujuran di tempat terhormat dalam fenomena UN, bagaimana penyikapan
kita bersama terhadap fenomena ini. Diskusi menarik ini, pertama kali
ditanggapi oleh Drs. H. Sirdjanul Ghufron, M. Ed. St. Menurut Ghufron,
selain sebagai penentu kelulusan atas standar yang disyaratkan, UN juga
berfungsi sebagai pemetaan pendidikan yang dijadikan dasar analisis untuk
pengembangan pendidikan termasuk di dalamnya pemberian bantuan dana.
Dalam konteks ini sekolah yang nilai UN-nya rendah,
sangat dimungkinkan proses pembelajaran yang ada di dalamnya maupun sarana
penunjang proses pembelajaran tersebut masing sangat kurang, sehingga perlu
mendapat bantuan. Artinya, jika sekolah yang hasil UN-nya jeblok, maka sekolah
tersebut justru akan memperoleh bantuan dan demi pengembangan sekolah termasuk
para pendidiknya. Sontak saja, statemen yang terakhir Ghufron dibantah oleh
Agus Prasmono, Redaktur Pelaksana Dinamika Guru yang selama ini
sering kelayapan di sekolah pinggiran alias pedesaan. Selama ini, menurut Agus,
fakta di lapangan banyak sekolah di pinggiran yang notabene kondisi tenaga
pendidik maupun sarana pendukungnya minim serta hasil UN-nya rendah, ternyata
sangat minim pula bantuan yang diperolehnya. Bahkan, di Ponorogo ada beberapa
SD Inpres yang dibangun tahun 70-an sampai sekarang belum pernah mendapat
bantuan apapun termasuk rehap ruang kelasnya. Ironis. Jadi, argumen yang
diajukan oleh Sirdjanul Ghufron bahwa sekolah yang nilai UN-nya jelek malah
akan bantuan, menjadi terbantahkan.
Masih menurut Agus, alih-alih memperoleh bantuan dana,
pertanyaannya hari gini siapa orang yang ikhlas mau mengakui kekurangannya
dengan jebloknya hasil UN? Agus sempat bercerita, pernah bertemu seorang guru
SMA di dalam sebuah bis yang mengatakan apa gunanya jujur kalau siswanya banyak
yang tidak lulus. Cerita Agus ini bikin ketawa kecut peserta diskusi. Nah, jadi
menurut Agus, yang sakit karakternya itu adalah masyarakat di luar murid,
sedang murid murni jadi korban belaka. Justru yang kasihan itu muridnya.
Fakta yang diungkap Agus, kembali menurut Sirdjanul
Ghufron, dimungkinkan terjadi karena tidak sinkronnya program pemerintah pusat
dengan pelaksana di daerah, sehingga yang sering mendapat bantuan adalah
sekolah yang kondisinya sudah baik. Akibatnya yang baik makin baik yang jelek
tetap jelek bahkan makin jelek (mirip lagunya Rhoma Irama).
Drs. H. Sirdjanul Ghufron, M.Hum: UN untuk
standarisasi pendidikan
Diskusi mulai menghangat, ketika disinggung sering
terjadinya kecurangan dalam pelaksanaan UN, Ghufron mengatakan bahwa itu adalah
olah oknum yang ada di bawah seperi oknum kepala sekolah dan guru yang ingin
nilai dan kelulusan anak didiknya baik. Sebenarnya, menurut sepengetahuan
Ghufron, semua elemen pejabat mulai dari presiden, menteri pendidikan, gubernur
sampai dengan kepala dinas pendidikan menyerukan tentang perlunya kejujuran
dalam pelaksanaan UN ini. Namun seruan itu sering dikalahkan dengan ambisi
pribadi oknum guru dan kepala sekolah yang ingin mencari nama baik sekolahnya
karene sering baik tidaknya sekolah dilihat dari ukuran angka-angka yang
terpamang dari hasil UN ini. Pengawas yang penah menjadi kepala sekolah di
Mesir ini tidak sependapat kalau ketidakjujuran yang sering terjadi di UN
dijadikan alasan untuk meniadakan UN. Karena menurutnya, masih banyak nilai
pengembangan karakter yang mengiringi UN itu sendiri seperti anak menjadi lebih
rajin belajar, disiplin, kerja keras, ulet, punya daya saing dan lain-lain.
Akan betapa rendahnya semangat belajar anak bangsa kalau tidak ada UN
lagi. Menurutnya, di hampir semua negara di dunia juga melaksanakan UN
ini. Bahkan di Mesir untuk kenaikan pada kelas terakhir sebuah lembaga
Pendidikan juga memakai UN yang koreksinya dilakukan antar propinsi sehingga
tidak mungkin lagi terjadi manupulasi nilai.
Fenomena UN dan pendidikan karakter ini juga ditanggapi
oleh Rusdi, pendidik dari Madrasah Ibtidaiyah di Krebet ini selama ini,
menyatakan sering menjumpai ketidakjujuran massal baik oleh guru maupun peserta
didik dalam pelaksanaan UN. Seingga sekarang sering dijumpai suatu kondisi yang
kontradiktif, di lain pihak sering digelar acara doa bersama (istighotsah) dan
beberapa kegiatan yang tujuannya mendekatkan diri pada Sang Pencipta demi
keberhasilan ujiannya namun di lain pihak ketidakjujuran juga terus digalakkan,
sehingga dia berseloroh hal ini bisa membingungkan malaikat pencatat amal
manusia.
Di sisi lain Drs. Sugiyanto, M.Pd. berpendapat bahwa
ketidakjujuran dalam UN ini salah satunya berawal dari mendewakannya UN. Pada
waktu pelaksanaan UN semua pihak seolah terlibat dan menjadi pengawas
pelaksanaan. Mulai pejabat pemerintah (bupati, gubernur), DPR, LSM, Polri,
perguruan tinggi, tokoh masyarakat, semua berbicara masalah UN ini. Dengan
semua pihak merasa berkepentingan dengan UN ini, maka anak didik akan semakin
merasa bahwa UN adalah sesuatu yang menakutkan dan menjadi momok dalam
pendidikan yang dilaluinya. Bahkan lepas UN anak merasa bebas melebihi
kebebasan napi koruptor dalam merayakan kebebasannya tersebut. Mestinya semua
pihak tadi jangan hanya mengawasi dan mengangkat harkat UN namun yang lebih
penting adalah bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan di sekolah. Dengan
demikian menurutnya, untuk memecahkan permasalah kecurangan dan ketidakjujuran
UN ini butuh pemecahan komprehensip dari pusat hingga guru di lapisan terendah.
Sedangkan murid hanya korban atau buah dari pembinaan guru dan lembaga yang
bersangkutan.
Mengapa demikian? Hal ini ternyata ada beberapa lembaga
pendidikan yang berbasis keagamaan sangat bagus dalam menyikapi dan
melaksanakan UN ini. Edi Supriyanto M.Pd, misalkan, menyebutkan Madrasah
Tsanawiyah swasta di wilayah kecamatan Babadan yang pernah ia awasi hampir
tidak ada anak yang bertanya apalagi nyonyek ketika UN digelar. Hal ini karena
penanaman yang sangat bagus bahwa kejujuran adalah lebih utama dari sekedar
angka-angka yang terpampang dalam DANUN. Dan hasil UN-nya juga sangat
bagus alias lulus semua. Sedangkan menurut Drs. Purnomo Sidik Kustiono, M. Hum,
ketidakjujuran salah satunya berasal dari krisis kepercayaan yang melanda
masyarakat kita ini.
Sedang menurut Sahudi, guru dari Nongkodono Kauman bahwa
ketidakjujuran ini sudah menjadi penyakit masyarakat dan pemerintah. Banyaknya
kuropsi adalah cermin ketidakjujuran di pemerintahan dan masyarakat pada
umumnya. Sekolah juga bagian dari masyarakat. “Ketika birokrasi melakukan
kecurangan, bisakah lembaga di bawahnya tidak melakukannya? Dengan kata lain
ketidakjujuran di sekolah tentunya berawal dari Kepala Sekolahnya sendiri”
katanya dengan penuh semangat. Untuk itu, menurutnya, boleh ada UN namun jangan
dijadikan syarat kelulusan. Kelulusan lebih baik orientasi pada proses
pendidikan yang ada di dalamnya, karakter yang terbangun dan keberhasilan dalam
membangun manusia seutuhnya bukan sekedar dengan angka-angka namun lebih
menekankan proses yang ada di dalamnya. Hal ini juga dibenarkan oleh Sunar S.pd
guru dari kawasan Ngrandu Kauman mengatakan bahwa ada oknum guru Taman
Kanak-kanak yang kebetulan ketemu mantan anak didiknya yang sudah kelas 6 di SD
tertentu, yang menyuruh mantan anak didiknya tersebut untuk “saling bantu”
ketika ujian berlangsung. Informasi ini justru diperoleh Sunar dari laporan
kepolosan anak-anak itu. Hal ini berarti keparahan moral berada pada pendidik
dan Kepala Pendidiknya (KS). Keparahan ini, tambah Sahudi, menjadi fenomena
massif dengan menunjukkan bukti bahwa betapa hampir di semua sekolah ada modus
dimana seorang siswa yang pandai diperankan oleh guru sebagai antena penyebar
sinyal jawaban UN kepada teman-teman di kelasnya. Peserta diskusi pun “gerrr”
mendapat cerita dari Sunar dan Sahudi tersebut.
Seperti dikatakan Gufron diatas bahwa banyak pengiring
yang menyertai UN seperti semangat belajar yang tinggi, ulet dan lain-lain
adalah suatu hal yang tidak boleh dilihat sebelah mata. Ketika kejujuran
dipermasalahkan sebenarnya benteng terakhirnya adalah kepala sekolah sebagai
penanggungjawab pelaksanaan pembelajaran di sekolah tersebut. Karena mulai
kepala dinas sampai dengan menteri memerintahkan kejujuran. Diskusi makin
menarik dan hangat ketika giliran Drs. Sutejo M.Hum akademisi dari STIKIP
Ponorogo ini, berpendapat bahwa system UN ini sangat mempengaruhi pembangunan
karakter siswa. Sebagai gambaran ketika UN menjadi satu-satunya penentu
kelulusan dulu, banyak sekolah yang menggunakan segala daya dan upaya
untuk “melancarkan” kelulusan siswanya. Namun ketika prosesntase UN diturunkan
menjadi hanya 60% semangat ini juga mengendor. Tokoh yang sering memberi
motivasi pada sekolah sekolah ini, mengatakan bahwa motivasi siswa sangat
berbeda ketika menghadapi sistem UN yang berbeda ini.
Paparan Sutedjo di atas, diperkuat oleh Drs. Muryadi,
kandidat magister pendidikan ini, ketika ditemui Dinamika Guru di
luar forum diskusi ini, yang menyampaikan biang kerok kehancuran karakter
bangsa ini setidaknya ada 2 hal. Pertama, system kelulusan UN sebelum dua lalu
yang menggunakan passing grade. Menurutnya, siapa yang tidak gila
mendapati siswa terpandainya, bahkan sempat jadi juara olimpiade, tidak lulus
gara-gara ada satu saja nilai UN di bawah passing grade. Karenanya, pola
passing grade inilah yang menjungkir balikkan logika orang waras.
Apalagi, siswa yang tidak lulus dan sekolahnya menanggung beban psikologis dan
stigmatisasi dari masyarakat. Dampak lanjutannya dapat ditebak, mau tidak mau,
kepala sekolah yang mengomandani institusinya melakukan pengkondisian
‘kecurangan’ sistematis di tahun-tahun berikutnya. Mentalitas dan karakter para
punggawa pendidikan luluh lantak dihantam tsunami UN yang memakai system passing
grade tadi. Sehingga, sekarang (persisnya sejak dua tahun lalu) meskipun
system UN sudah diubah menjadi lebih proporsional, dimana peran sekolah diakui
dalam penentuan kelulusan siswa, namun mentalitas dan karakter punggawa
pendidikan tadi tidak gampang dipulihkan. Inilah harga yang harus dibayar oleh
penentu kebijakan UN dalam hal ini BSNP dan Mendiknas.
Kedua, system penentuan ‘kastanisasi’ sekolah menjadi 3
lapis yaitu sekolah standar, sekolah standar nasional (SSN), dan sekolah
bertaraf internasional (SBI), dimana dua yang terakhir ini ada yang melalui
tahap rintisan. Untuk bisa naik kasta dari sekolah standar ke SSN misalnya,
meskipun syaratnya banyak namun salah satu syarat yang tidak bisa dilompati
adalah nilai rata-rata UN harus minimal sekian. Dalam konteks ini, maka
kemudian banyak oknum kepala sekolah yang tergoda, bahkan tergila-gila, untuk
mengejar prestise. Mudah diduga, jika prestise ini sudah bersemayam di benak
kepala sekolah maka berbagai cara untuk menaikkan rata-rata hasil UN akan
ditempuhnya juga. Kenapa demikian? Muryadi menduga, sulit (meskipun bukan tidak
bisa) sekolah akan memperoleh status bergengsi SSN ataupun SBI meskipun baru
bersifat rintisan jika peraihan rata-rata UN dilakukan dengan normal-normal
saja.
Bagaimanapun juga, kembali menurut kang Tedjo, demikian
panggilan akrabnya dalam komunitas sastra, motivasi untuk percaya diri dalam
melaksanakan UN ini ternyata sangat penting. Sebagai contoh, beberapa sekolah
pinggiran yang diberi motivasi dengan baik, faktanya anak didiknya bisa bekerja
dengan baik pula dalam mengerjakan soal, tidak semata-mata mengandalkan
kerjasama dengan teman lainnya.
Drs. Sutejo, M. Hum: Perlu Motivasi percaya diri pada
anak didik
Selanjutnya,
menurut Peni Nurhidayati, kepala SD di kecamatan Pulung ini, untuk membangun
nilai positif yang mengiringi UN ini perlu melibatkan seluruh komponen (stake
holder) pendidikan, bukan hanya kepala sekolah dan guru, walaupun keduanya
merupakan faktor kunci. Masyarakat kita cenderung sudah pesimis terhadap
kebijakan yang positif. Cenderung menilai minir terhadap apa yang mestinya
positif memandangnya. Hal ini sebenarnya penyakait masyarakat kita sudah parah,
terutama rendahnya nilai kejujuran di masyarakat.
6.
UJIAN
AKHIR NASIONAL, MELAHIRKAN KEJUJURAN ATAU KECURANGAN?
Di Indonesia, syarat untuk
mendapatkan kelulusan, baik di SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA adalah mengikuti
Ujian Akhir Nasional atau sering juga disebut dengan UAN. Ujian Akhir Nasional
ini merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk menentukan nasib
kelulusan siswa. Namun sejak tahun 2011, Kementerian Pendidikan di Indonesia
menetapkan kebijakan baru yaitu penentu kelulusan adalah 60% dari nilai Ujian
Akhir Sekolah dan 40% dari Ujian Akhir Nasional. Akan tetapi, walaupun Ujian
Nasional hanya 40% penentu kelulusan, tetap saja banyak yang melakukan
kecurangan dalam mengerjakan soal-soal UAN yang diberikan. Bahkan, tidak
sedikit dalam kecurangan tersebut ada campur tangan orangtua, guru, pengawas,
dan oknun-oknum lain yang tidak bertanggung jawab.
Berbagai cara dilakukan oleh para
siswa agar bisa lulus UAN. Bagi siswa yang bersungguh-sungguh dan jujur tentu
saja menempuh cara-cara yang jujur pula. Seperti belajar dengan giat, mengikuti
bimbingan belajar, dan yang terpenting adalah berdoa. Namun, bagi siswa yang
tidak sadar akan kejujuran, cara yang mereka tempuh contohnya seperti menyontek
pekerjaan teman pada saat mengerjakan UAN, dan bahkan menyiapkan kunci jawaban
sejak jauh-jauh hari. Fenomena ini telah terjadi sejak bertahun-tahun yang lalu
setiap UAN dilaksanakan. Jenis-jenis kecurangan dalam UAN ada berbagai macam,
dan yang paling laku adalah dengan mengandalkan jawaban yang diterima melalui
SMS. Padahal, dalam peraturan UAN, siswa tidak diperkenankan untuk membawa
handphone ataupun alat komunikasi yang lain. Tapi, tidak sedikit siswa yang
melanggar peraturan tersebut. Bahkan, rata-rata pengawas Ujian Akhir Nasional
mengetahui tentang pelanggaran peserta UAN. Tetapi, para pengawas tersebut
tetap tinggal diam dan membiarkan peserta UAN beraksi dengan handphone mereka
masing-masing. Keaslian jawaban SMS itu tentu saja harus diragukan, karena
jawaban yang dikirim melalui SMS itu belum tentu benar 100%. Selain itu yang
perlu diingat yaitu pengirim jawaban SMS ini belum tentu mengetahui dengan
pasti soal-soal yang diberikan dalam UAN. Meskipun, tidak sedikit guru,
pengawas, bahkan kepala sekolah yang menjadi pengirim sms jawaban ini. Walau begitu,
tetap saja kita harus waspada dengan SMS jawaban seperti ini karena bisa saja
jawaban tersebut salah sehingga menyebabkan ketidaklulusan. Campur tangan pihak
sekolah dalam terjadi nya kecurangan di dalam UAN, tentu saja bertujuan untuk
menjaga nama baik sekolah. Sekolah yang dapat meluluskan 100% siswanya dianggap
sebagai sekolah yang berhasil. Meskipun dalam keberhasilan itu terdapat
berbagai macam kecurangan. Selain itu, hal ini juga bertujuan agar pada saat
pendaftaran siswa baru, banyak yang berminat di sekolah tersebut sehingga
menjadikannya sebagai sekolah favorit.
Dalam menghadapi Ujian Akhir
Nasional tentu saja dibutuhkan persiapan yang benar-benar matang agar saat
ujian nanti, akan terasa mudah. Beberapa bulan sebelum UAN dilaksanakan, banyak
sekolah yang mengadakan les persiapan UAN. Tujuan utamanya yaitu untuk membahas
materi-materi yang diprediksikan masuk dalam soal UAN. Para siswa dipacu untuk
dapat memahami materi-materi tersebut. Biasanya sebelum les ini diadakan, para
siswa terlebih dahulu akan mengikuti Ujian Try Out atau ujian
simulasi/percobaan UAN. Materi yang dianggap kurang dipahami oleh sebagian
besar siswa akan lebih diperdalam saat les nanti. Setelah materi-materi
tersebut sudah dianggap dipahami oleh para siswa, maka akan diadakan kembali
Ujian Try Out. Bisanya, Ujian Try Out tersebut dilaksanakan sebanyak 3-4 kali
agar siswa dapat lebih memahami/menguasai materi yang telah diajarkan. Bukan
hanya sekolah-sekolah yang mengadakan les. Sebelum UAN dilaksanakan, banyak
tempat bimbingan belajar yang membuka pendaftaran. Tujuan mereka hampir sama
dengan tujuan diadakannya les di sekolah. Namun di beberapa tempat bimbingan
belajar, kadang-kadang terdapat tenaga pengajar yang masih merupakan
mahasiswa/mahasiswi. Tapi, beberapa diantaranya juga terdapat tenaga pengajar
yang sudah sangat ahli.
Walaupun telah dilaksanakan selama
bertahun-tahun, Ujian Akhir Nasional masih selalu menuai pro dan kontra dari
berbagai kalangan masyarakat. Di kalangan masyarakat yang pro terhadap UAN,
mempunyai pandangan bahwa UAN bisa menjadi ajang untuk mengevaluasi dan melihat
sejauh mana seorang siswa memahami pelajaran yang telah diajarkan di sekolah.
Di sisi lain, bagi kalangan masyarakat yang kontra terhadap UAN beranggapan
bahwa di dalam pelaksanaan UAN terdapat berbagai macam kecurangan. Sehingga
nilai-nilai yang dijadikan landasan kelulusan banyak yang bukan merupakan nilai
murni dari siswa. Banyak kejadian-kejadian yang menguatkan opini masyarakat ini
salah satunya yaitu, siswa yang sehari-harinya mendapat nilai yang rendah di
sekolahnya pada saat pengumuman hasil UAN, ia menjadi siswa dengan nilai UAN
tertiggi. Bahkan seringnya kita mendengar kabar bahwa siswa yang merupakan
juara kelas atau siswa yang berprestasi di sekolah saat pengumuman hasil UAN,
ia tidak lulus. Hal itu tentu saja sangat memperihatinkan.
Dari berbagai opini masyarakat dan
fakta-fakta yang bisa kita lihat dalam pelaksanaan Ujian Akhir Nasional, tentu
saja kita bisa mengambil kesimpulan, yaitu Ujian Akhir Nasional masih bisa
dilaksanakan. Akan tetapi harus dengan pengawasan yang lebih ketat agar
menghindari adanya kecuranga-kecurangan yang bisa saja terjadi saat pelaksaan
ujian. Perlu diingat lagi bahwa tujuan utama dilaksanakannya UAN yaitu untuk
melihat sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi yang telah diajarkan dan
menjadi tolah ukur apakah siswa tersebut sudah bisa layak untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sebagai bangsa yang sedang berkembang
kita tentu saja harus menjaga kualitas para penerus bangsa. Jika sejak dari
bangku sekolah mereka diajarkan untuk melakukan sesuatu dengan dilandasi
kejujuran maka suatu saat ketika mereka menjadi pemimpin bangsa ini, mereka
menjadi pemimpin yang amanah dan dapat memajukan bangsa. Sebaliknya, jika sejak
bangku sekolah mereka telah berani berbuat sesuatu yang tidak jujur, kelak jika
mereka menjadi pemimpin bangsa, mereka akan menjadi pemimpin yang
menyengsarakan rakyat.
Persiapan Menghadipi Ujian Nasional 2013
Sebagai pelajar/siswa peserta Ujian
Nasional baik tingkat SMA, tingkat SMP dan tingkat SD ada baiknya mulai
sekarang mempersiapkan alat tempur untuk menghadapi Ujian Nasional 2013 ini,
diantara:
Belajar Mandiri
Belajar mandiri ini bisa anda
lakukan baik perorangan maupun per-kelompok kecil bersama teman-teman anda,
kelemahan dari belajar mandiri ini adalah kurangnya motivasi dari diri sendiri,
artinya seorang anak akan acuh tak acuh dalam belajar mandiri yang menimbulkan
ketidakseriusan dalam mencerna pelajaran-pelajaran. Solusinya adalah keaktifan
orang tua/wali dalam memberikan motivasi untuk selalu belajar yang giat supaya
pada akhirnya dapat lulus UN 2013 dan dapat duduk di bangku kuliah, bangku SMA
atau bangku SMP.
Ikut Bimbel
Mengikuti program Intensif lewat
lembaga bimbingan belajar dikota anda, semisal bimbel Gama College, JILC, RPC
dan bimbingan belajar insentive Ujian akhir 2013 serupa. Kelemahan dari program
Bimbingan Belajar ini adalah berat di ongkos, artinya seorang siswa yang
berasal dari kalangan menengah kebawah agak sulit mengikuti bimbel karena
terbentur masalah biaya. Kelebihan dari ikut bombel adalah anak akan
termotivasi dan cepat menangkap pelajaran-pelajaran, karena para tentor (guru
pembimbing) akan menggunakan segala macam trik dan games-games menarik supaya
peserta bimbelnya menghapal dan mengingat secara nalar pelajaran-pelajaran yang
sesulit bagiamanapun.
Ikut Les Privat Pada Guru
Kadang seorang guru akan membuka
bombingan belajar pribadi secara intinsive di rumahnya pada waktu-waktu diluar
jam sekolah. Kelemahan dari les privat pada guru lagi-lagi terbentur masalah
biaya, karena tentunya guru yang membuka les private akan mengenakan “uang
capek” (Tapi tidak akan semahal uang administrasi lembaga bombel resmi) pada
peserta didiknya, dan yang kedua adalah khan 1 guru itu cuman membawakan 1
bidang study saja, jadi artinya seorang siswa akan banyak menghabiskan waktu
jika mengikuti les privat seperti ini. kelebihannya karena guru yang membuka
bimbingan pribadi atau les privat itu sudah hampir 3 tahun bersentuhan dengan
siswa, jadi sang guru akan mengetahui setiap karakter dari siswa-nya dan akan
menggunakan teknik mengajar les privat sesuai dengan karakter masing-masing
siswa-nya.
Itulah tiga cara yang digunakan
oleh banyak siswa, baik siswa tingkat SMA sederajat, SMP sederajat maupun SD
sederajat, dalam menaklukkan Ujian nasional yang kian tahun kian diperketat
sistem-nya.
Tapi jika anda bertanya tidak
adakah lagi cara cepat, instant dan tentu legal dalam menaklukkan Ujian
nasional 2013 untuk tingkat SMA, SMP maupun SD???, nah kabar gembira bagi anda
yang ingin instant, murah dari segi biaya dan tentu legal (tapi tetap
diprioritaskan 3 cara diatas yach, terutama cara belajar mandiri). Oh yach
lanjut kemasalah yang instant – instant tadi untuk lulus UN 2013. Yang saya
katakan adalah ramuan trik atau rahasia untuk Lulus Ujian Akhir Nasional 2013
untuk tingkat SMA, SMP dan SD, namanya adalah:
Road Map Persiapan Ujian Nasional 2013
·
Road Map ini berisi
persiapan – persiapan yang harus kalian lakukan 3 bulan sebelum ujian nasional
dilaksanakan
·
Teknik Mengatur Jadwal
Belajar Yang Efektif : Untuk Persiapan Ujian Nasional modul ini
wajib kamu ketahui. Modul ini berisi tentang teknik yang sangat powerful dalam
mengatur jadwal belajar kamu.
·
50 Strategi Rahasia
Menggunakan Waktu – Waktu yang ada bagi kamu bagaikan sebilah
pedang. Apabila kamu tidak dapat menggunakannya dengan pasti kamu akan terkena
dampaknya dalam menghadapi ujian.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar